bakabar.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia akhirnya buka suara soal tagihan rafaksi minyak goreng yang seharusnya dibayarkan pemerintah kepada para pelaku usaha peritel.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berdalih tengah meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung terkait utang pengadaan minyak goreng satu harga ke pengusaha ritel sebesar Rp344 miliar.
Utang itu berasal dari selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022 lalu yang belum dibayarkan hingga saat ini.
Kepala Pusat Penerangan Kejagung Ketut Sumadena mengungkapkan hingga saat ini, pihaknya belum memberikan hasil kajian atas permintaan Kemendag soal legalitas pembayaran selisih harga minyak goreng tersebut.
Baca Juga: Minyak Goreng Terancam Langka, Pemerintah Harus Lakukan Hal Ini
"Pertimbangan hukum itu di Datun (Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara), saya belum dapat memberi tahu hasil kajian nya terkait itu," ungkapnya kepada bakabar.com di jakarta, Senin (24/4).
Saat ditanya, soal komunikasi antara Kemendag dengan Kejagung, Ketut menegaskan bahwa secara operasional hal itu tidak menjadi kewenangan dari Kejagung RI.
"Secara teknis operasional itu tidak menjadi kewenangan kami," terangnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim menegaskan jika pihaknya tengah menunggu pendapat hukum dari Kejagung terkait rafaksi dalam program satu harga pada 2022.
Baca Juga: Bapanas Terbitkan Regulasi Soal Cadangan Gula dan Minyak Goreng
Alasannya, ada perbedaan pendapat soal rafaksi mengingat peraturan menteri perdagangan (Permendag) soal aturan tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
“Karena Permendagnya sudah dicabut. Artinya tidak perlu lagi dibayarkan, ada silang pendapat itu sehingga diputuskanlah nanti minta pendapat hukum dari Kejagung,” ujar Isy Karim dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Dalam Permendag Nomor 3 tahun 2022 disebutkan jika pihak pengecer wajib melakukan penjualan minyak goreng kemasan kepada konsumen dengan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp14 ribu per liter.
Pasal 7 beleid itu menyebut para pelaku usaha akan mendapatkan dana untuk menutupi selisih harga jual dengan harga keekonomian minyak goreng dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Baca Juga: Dugaan Kartel Minyak Goreng, LKPU-UI: Bukti Hukumnya Lemah
Sayangnya, ketika utang belum dibayarkan, Permendag 3/2022 justru digantikan dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022. Beleid baru itu membatalkan aturan lama soal pembayaran selisih harga yang harusnya ditanggung pemerintah. Akibatnya, sampai saat ini pengusaha belum menerima sisa pembayaran tersebut.
Imbas dari kekisruhan itu, minyak goreng berpotensi langka di pasaran, jika pemerintah tidak segera membayar selisih harga (rafaksi) dalam program satu harga minyak goreng tahun 2022 lalu.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengakui proses pembayaran tersebut mandek di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Sementara itu, Aprindo mengaku pada periode 19-31 Januari 2022 telah melaksanakan mandat Permendag Nomor 3 Tahun 2022 untuk menjual minyak goreng kemasan premium dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter ketika harga pembelian minyak goreng saat itu sangat tinggi, yakni Rp18.000 per liternya.
“Kami mempertimbangkan opsi menghentikan pembelian/pengadaan minyak goreng dari produsen/pemasok migor, dalam waktu dekat,” ujar Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey dalam keterangan resmi yang diterima bakabar.com, Jumat (14/4).