Dugaan pelecehan seksual secara verbal atau catcalling sebelumnya mencuat di Banjarmasin. Seorang dosen di Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin dilaporkan lantaran menggoda mahasiswinya sendiri.
Tak sekali dua kali dosen ini mengirim pesan rayuan ke korban. Bahkan saat sudah larut malam sekalipun. Isinya sama sekali tak berkaitan dengan urusan perkuliahan.
"Seperti mengirim pesan dengan panggilan 'beb' serta emoji [ungkapan perasaan melalui lambang di Whatsapp] love kepada mahasiswi tersebut," kata Menteri Pengembangan Perempuan Dewan Mahasiswa (DEMA) UIN Antasari, Arina Magfirah Fitria kepada bakabar.com, Minggu (13/2).
Tindakan dosen tersebut pada akhirnya membuat korban takut bertemu. Bahkan untuk sekadar berkuliah. 19 November 2021, korban dipanggil ke Kementerian Pengembangan Perempuan DEMA UIN Antasari Banjarmasin. Laporan inilah yang mengungkap kelakuan menyimpang si dosen.
Sesaat setelahnya, DEMA meneruskan laporan tersebut ke Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) kampus setempat. Dasar laporan mengacu SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
"Bahwa PSGA menjadi leading sector unit Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada PTKI," ujarnya.
11 Desember 2021, Kementerian Pengembangan Perempuan DEMA UIN Antasari Banjarmasin mendapat laporan dari pihak PSGA bahwa aduan sudah disampaikan ke wakil Rektor III.
"Isinya untuk segera ditindaklanjuti," ujarnya.
Sayangnya, DEMA merasa kejelasan soal tindaklanjut kasus catcalling tersebut malah simpang siur. Beberapa hari setelahnya, pihak kampus tampak sibuk dengan pelantikan pejabat baru, termasuk pergantian ketua PSGA.
"Kemudian kami menghubungi ketua PSGA yang baru untuk mempertanyakan tindaklanjut kampus pada kasus ini," lanjutnya.
Persoalan mulai rumit ketika pejabat terdahulu ternyata tidak berkoordinasi dengan ketua PSGA yang baru. DEMA UIN Antasari harus kembali menjelaskan duduk perkaranya dari awal.
"Ketua PSGA kemudian meminta untuk dapat bertemu secara langsung dengan korban," bebernya.
17 Januari 2022, korban bersama Kementerian Pengembangan Perempuan menemui ketua PSGA yang baru ini. Korban pun menceritakan lagi kejadian yang menimpanya. Selesai pembicaraan, ketua PSGA menyimpulkan jika bukti yang dimiliki korban belum cukup untuk dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Terlebih, 'hanya' satu korban yang melapor. PSGA juga menganggap isi pesan yang dikirimkan sang dosen hanya sebatas candaan dan rayuan biasa. Sekalipun demikian, kata Arina, si dosen sejatinya masih dapat diadukan terkait pelanggaran kode etik.
"Kecuali korban dapat menghadirkan korban lain yang mengalami kasus serupa," ujarnya, menirukan bicara ketua PSGA.
PSGA kemudian melaporkan kasus ini ke pihak fakultas. Pada 19 Januari 2022, Kementerian Pengembangan Perempuan bersama korban dipanggil menghadap wakil Dekan III dan wakil Dekan I fakultas terkait.
Berdasar hasil rapat dengan para pejabat fakultas, wakil dekan memastikan dosen tersebut resmi dinonaktifkan sebagai tenaga pengajar.
Namun keanehan kembali muncul. Yang DEMA tahu keputusan tersebut belum diberitahu ke dosen yang bersangkutan. Dengan alasan keamanan nilai semester korban saat itu. Lantas si korban diminta diam dan menganggap permasalahan ini telah selesai.
"Khawatirnya, bila si dosen tahu dirinya dinonaktifkan akibat diadukan oleh korban, nilai korban akan dikurangi," tambah Arina.
DEMA kemudian mempertanyakan keseriusan fakultas menyelesaikan perkara dugaan kekerasan seksual ini. Fakultas sebenarnya punya taji menindak oknum dosen yang tak objektif memberi nilai. Dekan juga belum mengeluarkan rekomendasi pada fakultas lain agar turut menonaktifkan dosen tersebut.
Di sini pihak fakultas beralasan hal tersebut bukan wewenang mereka. Mereka menyarankan mengusulkan rekomendasi tersebut kepada rektorat.
"Kami melihat tindakan yang diambil pihak fakultas hanyalah sebatas untuk menghentikan kegaduhan dan sama sekali tidak berpihak pada korban," ujarnya.
Mereka melihat kampus belum memberikan jaminan meyakinkan agar kasus serupa tak berulang. Termasuk upaya memulihkan trauma korban.
"SOP pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual hingga kini masih berbentuk draf dan belum disahkan," pungkasnya.
Dimintai pendapatnya, Praktisi Hukum dari Borneo Law Firm, Muhammad Pazri menilai apa yang menimpa si mahasiswi masuk dugaan kekerasan seksual.
"Jelas saat ini sudah ada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi," ujar Pazri dihubungi bakabar.com, Sabtu (12/2) malam.
Pazri kemudian meminta kampus tak menyepelekan trauma korban. "Pendampingan kepada korban harus maksimal," ujarnya.
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat 1 Permen itu, kata Pazri, meliputi perbuatan bernuansa seksual hingga membuat korban tidak nyaman.
"Sesuai Permen itu, menatap korban dengan nuansa seksual masuk dalam kekerasan seksual," ujar Pazri.
Ada tiga sanksi yang bisa dijatuhkan ke pelaku. Pertama, sanksi administratif ringan, berupa teguran tertulis; atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
Kedua, sanksi administratif sedang; berupa pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memeroleh hak jabatan atau skors kuliah atau pencabutan beasiswa.
Terakhir, sanksi administratif berat; berupa pemecatan sebagai mahasiswa atau pemecatan sebagai dosen.
Doktor jebolan Universitas Sultan Agung ini kemudian menjelaskan aturan tersebut juga berlaku tidak hanya bagi dosen melainkan mahasiswa yang menggoda mahasiswi walau sekadar siulan. "Termasuk juga merayu," ujarnya.
Aturan jelas tertuang dalam Pasal 5 ayat 2 huruf c: kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.
"Jadi jelas ketentuannya saat ini," ujar Pazri.
Respons Kampus
Dipanggil ‘Beb’ Lalu Emoji Love, Kala Dosen di Banjarmasin Catcalling Mahasiswinya Sendiri
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Antasari, Irfan Noor tak menampik kejadian pelecehan tersebut.
Dirinya juga memastikan pelaku sudah diberhentikan sebagai dosen pengajar di kampus itu. Lagi pula, statusnya hanya dosen honorer.
"Pemberhentian kontrak sudah sekitar dua bulan lalu," ucapnya kepada bakabar.com, Minggu siang (13/2).
Si dosen diketahui baru sempat mengajar satu semester di UIN Antasari. Masih berusia muda dan belum berkeluarga diduga menjadi pemicu pelaku tergoda menghubungi korban malam-malam dengan nada rayuan.
Sejak isu pelecehan tersebut mencuat di lingkungan kampus, Irfan menegaskan bahwa pihak rektorat tak tinggal diam. Ia berjanji kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus menjadi perhatian serius. Pada 2018, UIN Antasari sudah membentuk Dewan Etik.
"Dewan etik yang menegakkan aturan di lingkungan kampus," ujarnya.
Jika pelanggaran masuk kategori ringan, penanganan diserahkan ke fakultas yang bersangkutan. Apabila pelanggaran berat, pihak rektorat yang langsung turun tangan.
Terbaru, Rektor Prof Mujiburrahman juga sudah menerbitkan Surat Keputusan tentang Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus UIN Antasari Banjarmasin. Sembari menunggu regulasi terbaru Kementerian Agama soal ini.
Sisi lain, Irfan memastikan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus dapat pendampingan. Ada lembaga internal kampus seperti Unit Pengembangan Karir dan Kewirausahaan (UPKK), serta PSGA.