bakabar.com, BANJARMASIN – Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) menduga masih ada korban kekerasan seksual lain di lingkungan kampus UIN Antasari Banjarmasin, seusai skandal catcalling mencuat.
Bak fenomena gunung es, kekerasan yang diketahui dan dilaporkan tampak sedikit. Meski sebenarnya ada banyak kasus yang tak tampak dan menguap begitu saja.
Mengacu hasil survei DEMA, 55 dari 166 mahasiswa mengaku pernah mengalami tindak kekerasan seksual. Jenisnya beragam. Mulai dari kekerasan secara verbal, tertulis, hingga berupa serangan fisik.
Dari sebanyak 55 korban, 9 orang di antaranya mengalami pelecehan di area kampus. Survei juga menunjukkan mayoritas pelaku adalah orang yang dikenal.
Lantas, apa pemicunya?
Menteri Pengembangan Perempuan DEMA UIN Antasari, Arina Magfirah Fitria merasa upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus masih banyak menemukan jalan terjal.
"Salah satunya lantaran korban enggan melapor," ungkapnya kepada bakabar.com, Selasa (15/2).
Sebab, menurutnya mayoritas korban belum memahami apa itu kekerasan seksual. Di samping tak ada layanan pengaduan secara resmi oleh pihak kampus.
"Karena sejauh yang kami ketahui, layanan pengaduan terkait hal ini belum ada di kampus," ujarnya.
Semestinya layanan aduan tersebut sangat penting, sesuai amanat Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) 5494/2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual PadaPerguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Kondisi tersebut memaksa DEMA membuka layanan aduan soal kekerasan seksual di lingkungan kampus, khususnya bagi mahasiswa.
"Layanan aduan kekerasan seksual ini sangat penting dan mendesak, demi membantu korban. Meskipun kami tidak memiliki kewenangan untuk menindak para pelaku," bebernya.
Arina berkata sebenarnya formulir aduan sudah ada sejak sepekan pasca-laporan dugaan catcalling di lingkungan kampus.
Namun kala itu, pejabat PSGA terdahulu meminta pihaknya untuk tidak melanjutkan penyebaran form itu. Dengan dalih tak bergerak mendahului PSGA.
“Kami pun mencoba kompromi," ujarnya.
Tetapi, seiring berjalannya waktu DEMA melihat tak ada upaya nyata dari PSGA terkait layanan aduan. Terlebih setelah pergantian pejabat.
"Sedangkan di lain sisi hal ini sudah mendesak bagi kami, maka diputuskanlah untuk melakukan penyebarluasan form ini," tutur Arina.
Layanan aduan juga berupa konsultasi, pendampingan, penerusan serta pengawalan laporan kepada pihak berwenang di kampus.
Dengan hadirnya layanan ini, pihaknya berharap dapat membantu para mahasiswa yang terindikasi atau menjadi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan.
"Harapannya juga, ini dapat mendorong para terindikasi korban untuk berani angkat suara minimal dengan melaporkan kasusnya," harapnya.
Pasalnya, menurut Arina, tak menutup kemungkinan bakal ada korban-korban lain bermunculan jika kasus pelecehan seksual terus didiamkan.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama UIN Antasari, Irfan Noor berkata pihaknya sangat serius menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Hal itu, sebutnya, dibuktikan dari sanksi tegas yang diberikan terhadap dosen honorer pelaku catcalling mahasiswi sebelumnya.
Berdasar hasil rapat pimpinan, si dosen sudah dinonaktifkan. Irfan juga memastikan pelaku tak bisa lagi menjadi tenaga pengajar di seluruh fakultas.
"Status honorer yang bersangkutan juga akan dilimpahkan ke bagian kepegawaian untuk dilakukan pembinaan," katanya kepada bakabar.com, Senin (14/2).
Kampus, kata Irfan, sudah tidak tinggal diam bahkan sejak isu pelecehan tersebut mencuat. Pasca-kasus ini, rektorat bakal memperkuat Dewan Etik yang berfungsi menegakkan aturan di lingkungan kampus.
Jika pelanggaran masuk kategori ringan, penanganannya diserahkan ke fakultas yang bersangkutan. Apabila pelanggaran berat, pihak rektorat yang langsung turun tangan.
Dalam waktu bersamaan, rektorat berencana membentuk Tim Satuan Tugas Pencegahan Kekerasan Seksual yang nantinya berakar dari tingkat universitas, fakultas, hingga program studi.
Skandal catcalling di halaman selanjutnya: