Cerpen

Sehimpun Makna dalam Satu Cerita tentang Ayah

Dalam edisi spesial Hari Ayah Nasional, Tim Redaksi memiliki sebuah cerita pendek yang mengisahkan sosok ayah yang penuh dedikasi dan insipirasi.

Featured-Image
Ilustrasi ayah dan anak perempuannya (Foto: dok.Klikdokter)

Pukul 12:30

Telepon berdering, di seberang ada suara Ciku yang menanyakan kabarku, kerjaanku di kantor, menu makan siangku dan bagaimana cuaca di kotaku. Sampai pada satu pertanyaannya yang membuatku termangu.

 “Menurut Ayah, apa itu cinta?”

Aku tahu ini bukan pertanyaan biasa dari seorang anak perempuan 21 tahun. Sejenak pikiranku menyeberangi waktu, sekadar mengingat bahwa betapa pun berlimpahnya Ciku kucintai, ia telah tumbuh dengan pengasuhan yang tak lengkap. Jika saja Ciku bisa bertanya hal ini pada ibunya.

“Hallo, Ayah masih di situ?” Kembali pertanyaan menyentakku. Ciku anakku yang sudah kuliah semester akhir di luar kota itu adalah anak yang cerdas. Namun kecerdasan tak selalu relevan jika menyangkut cinta dan ukuran pemaknaannya.

“Ya, Ciku. Ayah mendengarkan.” Kutengok persediaan kosa kataku. Tak bisakah kujawab saja bahwa cinta adalah puisi. Barangkali Ciku akan tertawa dan selamanya terhenti pada masa kanak-kanak. Aku tak pernah mampu mengartikan cinta, aku hanya bisa menunjukkan sikap dan komitmen mengenai cinta yang kupahami.

“Jawablah, Ayah. Aku hanya ingin pengertian cinta menurut Ayah. Aku ingin suatu saat berjodoh dengan laki-laki dengan prinsip mencintai seperti Ayah. Jadi, kalau jawaban dia kurang lebih sama dengan jawaban Ayah, aku akan menerima lelaki itu menjadi pasanganku.” Kata-kata Ciku semakin membuatku terdiam.

“Ciku sudah mengerti bagaimana cara Ayah memaknai cinta, sampai kenapa Ayah memilih tetap sendiri. Sebab sepeninggal ibumu, Ayah hanya bisa mencintai seorang perempuan yang membuat hidup Ayah tak terasa sendirian.”

 “Siapa perempuan itu?”

 “Ciku.”

“Terima kasih, Ayah,” serak suara Ciku. Lalu kutangkap hening dan isak di seberang sana. Mataku menerawang ke sisi meja. Sebingkai foto Ciku kecil tersenyum dengan giginya yang masih ompong. Oh, Ciku anakku yang cantik itu kini sudah menjelma perempuan dewasa dengan segenap pesona, hingga banyak hal bisa jatuh cinta kepadanya. Sulit mengira satu ketika aku akan melepas Ciku mengarungi bahtera cintanya.

“Bagaimana dengan kuliahmu?” Kuisi keheningan dengan pertanyaan. Dan Ciku menerangkan penuh semangat tentang penelitian tugas akhir yang dengan gigih diselesaikannya.  Agar bisa wisuda tepat waktu, janjinya.

HALAMAN
12345
Editor


Komentar
Banner
Banner