Pukul 09.00.
Langit cerah. Keluarga, kerabat, kolega, dan para undangan menyimak khidmat.
“Ayah melepasmu, Ciku. Cintailah suamimu dengan caramu sendiri, jadikan rumah tanggamu sumber cinta yang tak pernah surut, tempatmu menempa diri memaknai pengabdian hidup. Semua akan baik-baik saja. Ayah akan rajin mengunjungimu.” Pada setiap kata yang yang kuucapkan, sejatinya ada bermiliar rasa kehilangan yang kuajak berdamai.
“Ciku tidak akan pernah meninggalkan Ayah. Ayah adalah puisi Ciku yang paling indah di dunia.” Ciku pun bersimpuh dalam ritus sungkeman sebelum ijab-qabul. Mata Ciku menelaga. Aku melihat mata ibunya di dalam sana.
“Ciku juga puisi Ayah yang paling indah di jagat raya,” suaraku serak. Tak bisa lagi kubendung. Untuk pertama kalinya aku terisak sedu di hadapan Ciku. Seketika merindukan tubuh kecilnya yang menggigil demam, kecut keringatnya usai bermain sepeda, tangisan rewelnya saat sakit gigi, tarian tak karuannya mengiringi lagu Balonku Ada Lima, rajukannya di hari pertama masuk sekolah, semuanya.
Aku terisak mendapatinya yang telah bersimpuh meminta restuku untuk menjadi seorang istri dan kelak menjadi seorang ibu.
Bukankah dia adalah bayi merah yang kugendong keluar dari rumah sakit sementara ibunya baru saja kukuburkan. Bukankah dia adalah Zivanna Dean Lunara, nama yang sama dengan nama istriku, yang adalah ibunya. Bukankah dia perempuan yang membuatku bangga karena menjalani takdir sebagai ayahnya.
Ya. Dialah anakku, Ciku. Cintaku.
Deasy Tirayoh