Pukul 16:00.
Hujan deras. Genangan air membuat jalanan agak macet. Aku terlambat menjemput Ciku di penitipan. Hari ini kami ada agenda periksa gigi ke dokter. Gigi Ciku tergerus lemak susu yang mengendap di lapisan enamelnya. Itu salah satu dari sekian kelalaianku, karena tak membersihkan giginya setelah dot pengantar tidurnya tandas, sebab wajah lelapnya adalah kemerdekaanku.
Lelapnya bisa menjadi waktu emas untukku, walau hanya beberapa saat menikmati film di ruang tengah atau sekadar mengisap sebatang dua batang rokok di teras sambil menatap malam, sebelum akhirnya rasa lelah memanggilku masuk lantas terlelap di sebelah Ciku.
Di lain hari, Ciku tiba-tiba demam, maka untuk kesekian kalinya aku merintih gamang sendirian. Ingin menjerit sekerasnya, tapi bukan di hadapan Ciku. Ciku butuh diriku yang tegar dan bisa diandalkan. Jadilah aku menggendongnya semalam suntuk sambil menelepon keluarga atau siapa saja untuk diajak bertukar pengalaman.
Tetangga dekat pun datang untuk memastikan bahwa kami baik-baik saja, ketika suara tangis Ciku tak henti semalam suntuk. Rupanya Ciku hanya influenza dan tak perlu ke rumah sakit. Suhu badan yang naik adalah gejala pengiring yang bisa diatasi dengan penanganan yang tepat, meski hanya di rumah.
Aku bernapas lega, sembari mengompres kepalanya, meminumkannya obat, lalu menidurkannya dengan sederet lagu pengantar tidur yang bisa kusuarakan dengan nada ala kadarnya.
Saat Ciku belajar bicara, kata pertama yang dilafaznya adalah ‘ayah’. Aku terharu. Melengos ke cermin dan kudapati wajahku di sana, wajah seorang ayah yang ditinggal mati istrinya. Wajah seorang ayah yang terampil memasak, mengganti popok, mencuci pakaian, mendongeng, menyanyi nina bobo,yang terbangun dengan celana bau pesing terkena ompol, yang punya jadwal imunisasi di kalendernya, yang belajar untuk mengerti kesesuaian warna baju dengan jepitan rambut. Akulah ayahnya Ciku.