bakabar.com, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang membahas tentang energi fosil dan disebut sebagai energi baru dalam pengendalian perubahan iklim mendapat penolakan dari NGO lingkungan internasional, 350.org.
Juru Kampanye 350 Indonesia Suriadi Darmoko menilai pembahasan energi baru dalam RUU tersebut justru melenceng dari semangat pembentukan perundang-undangannya.
"Alih-alih memperkuat kebijakan untuk transisi menuju energi terbarukan, dengan pertimbangan tersebut seharusnya pengaruh batu bara dan energi fosil lainnya dihapus dari rancangan undang-undang ini," ujarnya.
Sehingga RUU hanya mengatur Energi Terbarukan saja. "Campur tangan industri energi batu bara dan fosil lainnya di dalam RUU ini akan menghambat pemerintah melakukan transisi energi," ungkap Darmoko.
Baca Juga: Dyah Roro Esti: RUU EBET untuk Kejar Target Indonesia Bebas Emisi
Berdasarkan Undang-Undang Energi nomor 30 tahun 2007, energi baru jika dipilah berdasarkan sumber hanya didasarkan atas dua sumber yakni terbarukan dan tak terbarukan.
"Nah, dari sumber, tidak ada pembeda sumbernya antara istilah energi dan energi baru. Perlukah istilah energi baru dalam perundang-undangan kita? menurut saya tidak perlu," ujarnya.
Pasalnya, jika dilihat lebih detail, istilah energi baru tak memiliki makna selain teknologinya baru. Sementara teknologi baru terus berkembang mengikuti zaman yang suatu saat nanti bukan lagi teknologi terbaru.
"Bahkan teknologi untuk batu bara cair, batu bara tergaskan, gas metana batu bara, nuklir dan hidrogen teknologinya sudah lama ada. Sehingga yang diklaim baru di dalam undang-undang tersebut bukanlah teknologi baru”, jelasnya.
Baca Juga: Kabar Gembira. Skema "Power Wheeling" tak Masuk RUU EBET
Bias istilah
Istilah energi baru ini, kata Darmoko sangat bias karena mencampuradukkan antara yang terbarukan dan tak terbarukan. Sumber energi seharusnya cukup dipilah berdasarkan sumbernya, apakah itu terbarukan atau tak terbarukan.
Dengan demikian, pengaturannya juga menjadi jelas, apakah peraturan ini ditujukan untuk energi terbarukan atau energi tak terbarukan.
“Narasi energi baru ini bagi kami hanya akal-akalan untuk memperpanjang umur energi fosil, khususnya batubara," jelasnya.
Ini dianggap sebagai peraturan terbaru yang akan mengatur bagaimana industri batu bara ingin tetap berlanjut, dan RUU seperti dibuat untuk memfasilitasi keberlangsungan bisnis batu bara yang bisnisnya dikuasai oleh politisi baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Baca Juga: Tinggalkan Batu Bara, Adaro Diversifikasi Bisnis Energi Terbarukan
"RUU EBET yang saat ini beredar tak lebih dari puzzle untuk melengkapi royalti 0% dari hilirisasi batu bara yang telah diatur di Perppu Ciptaker”, ujar Darmoko.
Bisnis batu bara
Menurut Darmoko, RUU EBT yang fokus menjembatani keberlangsungan bisnis batu bara justru mengabaikan bagian penting dari implementasi energi terbarukan, yakni pendanaannya.
Sebagaimana yang dimuat dalam Undang-Undang Energi nomor 30 tahun 2007, pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan, maka dengan momentum windfall profit dari industri batubara seharusnya dilihat sebagai salah satu peluang untuk dijadikan sumber pendanaan transisi energi di Indonesia. Sejalan dengan polluters pay principle (prinsip pencemar membayar).
Industri batu bara dan energi fosil lainnya, menurut Darmoko, telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan menjadi sumber emisi karbon secara global menyebabkan krisis iklim.
Baca Juga: 100 Hari JETP Diluncurkan, Komitmen Transisi Energi Indonesia Masih Lemah
Prinsip tersebut juga yang dilihat sebagai dasar dari pendanaan besar-besaran untuk transisi energi melalui berbagai kesepakatan global termasuk JETP, yang Indonesia masuk di dalamnya.
“Maka inilah waktunya untuk menggunakan keuntungan finansial dari industri energi tak terbarukan untuk mendanai pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan.
Dia menambahkan, "Sementara kita menggalang dana international besar-besaran untuk melakukan transisi energi, kebijakan yang dirancang Pemerintah justru memperkuat keberadaan industri batu bara," ungkapnya.
Program JETP
Saat ini, menurut Darmoko, Indonesia sedang dalam pembahasan rencana investasi untuk JETP. Jika tepat waktu, masih tersisa waktu kurang lebih tiga bulan lagi sebelum implementasi JETP diberlakukan.
Baca Juga: Dipastikan Tidak Ada yang Tertinggal dalam Transisi Energi
RUU EBT harusnya terbatas untuk mengatur energi terbarukan dan sehingga implementasi JETP memiliki payung hukum yang kuat agar lebih tepat sasaran untuk melakukan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan.
"Sembari terus menuntut negara-negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa agar memenuhi tanggung jawabnya membayar kompensasi kerugian dan kerusakan parah yang dialami negara berkembang karena krisis iklim," terangnya.
Darmoko menegaskan, Indonesia melalui pembuatan kebijakan dalam negeri seharusnya menunjukkan keseriusan dalam melakukan transisi energi.
Selain itu, RUU EBET seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan di tingkat komunitas yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di berbagai daerah.
Baca Juga: Menteri ESDM Bertemu CEO Hitachi Energy, Jelaskan Transisi Energi Indonesia
“RUU ini harusnya bisa memastikan pembangkit energi terbarukan yang dikelola masyarakat dapat diperkuat, skalanya dapat diperbesar dan ditularkan ke daerah lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar energinya," terangnya
Daripada berkutat pada pembahasan yang menjembatani energi fosil melalui energi baru, Darmoko menyerukan, "Sebaiknya dihapus dan pembahasannya diperkuat pada aspek energi terbarukan."