bakabar.com, JEMBER - Pemerintah setingkat camat dan kepala desa (Kades) di kawasan sempadan pantai selatan Kabupaten Jember, hingga kini tidak punya pegangan regulasi untuk menertibkan bangunan hingga tambak ilegal.
Para Camat dan Kades sejatinya tahu bahwa tambak dan pemukiman yang terus dibangun di kawasan sempadan pantai mulai dari Kencong hingga Puger tidak mengantongi izin.
Kini, sejak satu dekade terakhir, praktik usaha tambak ilegal hingga pemukiman terus bertambah, apalagi setelah adanya Jalur Lintas Selatan (JLS). Sementara pemerintah belum punya regulasi untuk menertibkan asetnya sendiri.
"Pemukiman juga terus bertambah di kawasan Mojosari. Sementara kami harus ada SOP dan regulasi yang jelas," kata Camat Puger, Yahya Iskandar Wardayat kepada bakabar.com, Selasa (28/3).
Baca Juga: JLS Jadi Pemicu Keramaian, Pemkab Jember Kewalahan Tertibkan Tambak Sempadan Pantai
Sudah satu dekade, bisnis tambak ilegal, pemukiman hingga praktek jual beli aset di kawasan Jember selatan terus berlangsung.
Pemukiman dan tambak juga terus bertambah seiring dibangunnya proyek Jalur Lintas Selatan (JLS) sekitar tahun 2016-2017 silam. Praktik jual beli lahan secara ilegal juga tidak bisa bisa dihindari.
Kini, kata Yahya, masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir sempadan pantai Puger menginginkan agar usaha tambak yang dikelola secara ilegal juga bisa mengantongi perizinan.
"Masyarakat sendiri sebenarnya juga ingin kepastian, dari penambak liar mereka juga pengin resmi, dan bisa memberi kontribusi ke daerah," katanya.
Kemunculan Investor Baru
Namun sayangnya, pemerintah Kabupaten Jember baru memulai upaya penertiban sejak 2022 lalu dengan mendatangkan investor baru asal Surabaya untuk membangun tambak seluas 3,7 hektar di Desa Mojomulyo.
Investor baru ini justru memantik sejumlah kelompok menolak, kendati maksud Pemkab Jember ingin memberi contoh tambak yang legal.
Yahya bahkan mengungkap aksi demonstrasi penolakan aktivitas tambak di sempadan pantai selatan Jember beberapa pekan lalu juga tidak sepenuhnya keinginan masyarakat.
Baca Juga: Takut Melanggar Aturan, Honor 23 Ribu Guru Ngaji di Jember Terancam Tertunda
Sebab, katanya, banyak masyarakat dari luar Dusun Getem Desa Mojomulyo yang ikut dalam aksi, seperti Kepanjen dan Lumajang.
Apalagi, massa aksi hanya menolak pembangunan tambak dari investor baru. Sebab banyak masyarakat sendiri yang juga diuntungkan dengan adanya tambak tersebut.
"Yang lama gak dipersoalkan, yang baru ini, meski jadi contoh proses legal jadi masalah. Karena ada pengusaha luar yang investasi," ujarnya.
Menunggu Kejelasan Regulasi
Yahya berharap agar Pemkab Jember segera memiliki acuan regulasi yang jelas, agar penataan kawasan sempadan pantai mulai dari Kencong hingga pesisir Tempurejo Bande Alit bisa segera dilakukan.
Apalagi, kata Yahya, tidak hanya persoalan tambak, pemukiman juga terus bertambah di kawasan Mojosari. Namun pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi melarang.
"Gimana mau dilarang juga gak ada aturan," ujarnya.
Tolak Suap Perizinan
Sementara itu, Kepala Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger, Edi Purwanto ketika RDP di DPRD Jember beberapa waktu lalu mengatakan, di kawasan sempadan pantai wilayah administratif desanya, hanya 26 rumah yang memiliki akta.
Itupun dibangun ABRI era lewat program masuk desa di era Orde Baru.
"Selain itu, dari mayangan jembatan ke timur sampai perbatasan Mojomulyo itu tidak ada suratnya," kata Edi.
Dampak tidak adanya regulasi yang jelas penataan sempadan pantai, juga membuat Edi seringkali dituduh menerima suap, mempersulit hingga tidak berpihak.
Baca Juga: Tolak Industri Tambak di Sempadan Pantai, Masyarakat Getem Geruduk Kantor Bupati
Edi pun hanya menyuruh para penambak baru atau warga yang yang mendirikan bangunan langsung ke bagian perizinan Pemkab Jember.
"Waktu itu, jabat kades kedua kali, ada bangunan besar, minta tanda tangan minta diaktakan, tapi dasarnya apa?," tanyanya.
"Punya siapa? Tapi saya lihat dibangun terus sampai selesai," tambahnya.
Edi sendiri selama ini mengaku tidak pernah mau menerima apapun dari pengusaha tambak atau badan usaha lain yang ada di sana.
"Saya senang ada income untuk masyarakat sana, tapi yang sejalan. Ini bukan tanah sampeyan," ujarnya.
"Kalau soal itu, rokok pun saya tolak," tambahnya.
Baca Juga: Motif Pembunuhan Sadis di Jember Terungkap: Naik Motor Kencang hingga Goda Istri Jadi Pemicu
Tidak hanya masalah tambak, kata Edi, pariwisata Pantai Cemara yang ada di sana juga lahir dari konflik. Destinasi tersebut mulanya mendapat dukungan dari pemprov, namun kini sudah dikelola masyarakat.
"Masalah Cemara, pariwisata, itu dari provinsi, itu dihadang sama masyarakat sana, mau dibacok," katanya.
"Sekarang dikelola masyarakat sana, tapi parkir, timur, tengah bentrok terus," tambahnya