3. Guru Besar ULM Banjarmasin
Penggalangan dana H Denny Indrayana-Difriadi Darjat (H2D) sebagai amunisi bersengketa hasil Pilgub Kalsel 2020 di Mahkamah Konstitusi (MK) menuai pro dan kontra.
Tak hanya masyarakat dan tokoh politik berkomentar. Para perwira tinggi Polri dan TNI di level daerah juga angkat bicara soal penggalangan dana Rp 5 ribu itu.
Kapolda Kalsel Irjen Pol Rikwanto, misalnya. Jenderal polisi bintang dua itu memastikan bahwa bersengketa di MK tak makan biaya alias gratis.
Sehingga ia meminta Denny-Difriadi sebaiknya tak melibatkan masyarakat dalam urusan sengketa ini.
"Jangan libatkan masyarakat, sehingga warga Banua tenang, karena yang terpilih merupakan pilihan masyarakat Kalsel," ujar Rikwanto kepada awak media Jumat (18/12) di sela rapat koordinasi Forkompimda Kalsel.
Senada dengan Rikwanto, Danrem 101/Antasari, Brigjen TNI Firmansyah, juga berkomentar soal penggalangan dana ini.
Jenderal TNI bintang satu itu menyatakan proses penghitungan suara pilkada sudah selesai. Atas hasil yang ditetapkan, ia meminta untuk kedua belah pihak berbesar hati dan menahan diri.
Bagi pihak yang kalah, Firmansyah berpesan untuk legawa selayaknya negarawan.
"Jika terdapat pihak yang masih merasa kurang menerima hasil dipersilakan menempuh mekanisme lain yang sesuai dengan peraturan. Jika bersengketa di MK di Jakarta, jangan libatkan lagi masyarakat Kalsel," pesannya.
Lantas wajarkah kekhawatiran dua jenderal itu muncul. Sampai-sampai mengantisipasi pelibatan masyarakat dalam proses perpolitikan di Banua?
Pertanyaan ini coba disodorkan bakabar.com ke Prof. Dr. Budi Suryadi. Budi adalah pengajar sekaligus guru besar di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin.
Gerakan Rp 5 ribu dinilainya sebagai bentuk ekspresi politik lokal terhadap ketokohan paslon-nya. Penggalangan dana untuk penyelesaian sengketa di MK pada jalur resmi politik yang disediakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dijelaskannya, perkembangan politik lokal sampai saat ini memang masih dalam taraf partisipasi politik konvensional, elite paslon mau pun masyarakat masih dalam koridor mengikuti alur proses penyelesaian sengketa pilkada di MK. Hal itu, kata dia, tentunya cerminan politik yang baik.
“Walaupun situasinya berbeda dengan konstruksi kondisi politik struktur afiliasi suara masyarakat yang cukup besar pada paslon,” ujarnya dihubungi bakabar.com, Senin (21/12).
Budi berkata memang di antara proses politik tersebut muncul gerakan sosial terhadap paslon tertentu tetapi hal ini menurutnya masih dalam koridor partisipasi politik konvensional.
Bentuk partisipasi politik terhadap paslon-nya untuk mengakomodir suara mereka pada proses politik yang benar yaitu penyelesaian di MK.
Gerakan sosial, sambungnya, seperti penggalangan dana bukan suatu pembentukan polarisasi di masyarakat tetapi hanya ekspresi masyarakat untuk tetap dalam koridor partisipasi politik konvensional melalui proses politik penyelesaian sengketa di MK.
“Kondisi politiknya memang terbangun struktur politik masyarakat terhadap ketokohan paslon-nya tetapi hal ini masih dalam partisipasi politik konvensional,” imbuhnya.
Sejumlah paslon di Pilkada Kalsel 2020 menggalang dana untuk menolak hasil pleno penghitungan suara KPU. Foto: Dok. bakabar.comBudi mengakui di ranah lokal memang sedang terjadi perubahan pada level budaya politik masyarakat yang mengalami perubahan ke budaya politik partisipan.
Tetapi sekali lagi, ujarnya, itu merupakan perubahan level budaya politik yang masih dalam kategori partisipasi politik konvensional.Hal itu terjadi, kata dia, karena adanya imbas orientasi politik masyarakat yang tumbuh berkembang namun pertumbuhan orientasi politik ini masih dalam proses politik konvensional tentunya.
Lantas apakah sah-sah saja adanya penggalangan dana ini?
Dalam perspektif sosiologi politik, Prof Budi menjawab masih dalam tahap kewajaran. Justru jadi proses pembelajaran dan penyadaran politik masyarakat untuk tetap berpartisipasi politik secara konvensional melalui penyelesaian sengketa di MK.
“Memandangkan untuk pembangunan politik masyarakat lokal di masa depan yang hal ini menjadi keunikan politik lokal yang tumbuh dalam jalur partisipasi politik konvensional,” jelas Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ULM ini.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya: