Permukiman Kumuh

Permukiman Kumuh, Kementerian PUPR Butuh Kolaborasi dengan Semua Pihak

Kementerian PUPR menyatakan butuh kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga stakeholder dalam penanganan permukiman kumuh.

Featured-Image
Tangkapan layar - Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti saat menjadi pembicara kunci dalam Workshop Nasional "Semangat Merangkai Aksi (Semarak) Keberlanjutan Penanganan Kumuh" dipantau secara daring dari akun YouTube Kotaku Nasional Kementerian PUPR, Selasa (20/6/2023). Foto: ANTARA

bakabar.com, JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menegaskan butuh kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga stakeholder dalam upaya penanganan perumahan dan kawasan permukiman kumuh.

"Upaya penanganan permukiman kumuh ini sudah dilakukan dan terus akan dilakukan bersama antara kolaborasi dari pemerintah pusat pemerintah daerah dan juga berbagai stakeholder," kata Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Diana Kusumastuti saat menjadi pembicara kunci dalam Workshop Nasional "Semangat Merangkai Aksi (Semarak) Keberlanjutan Penanganan Kumuh" dipantau secara daring, Selasa (20/6).

Diana menambahkan, "Kami tidak bisa melakukan sendiri harus bersama-sama, kalau pusat saja yang melakukan, 'lho kok pusat turun sendiri' mesti ada kata-kata seperti itu. Ini kan proyeknya pusat, bukan harusnya kita harus bersama-sama untuk tentunya mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh."

Dalam kesempatan itu, ia juga mengungkapkan beberapa penyebab munculnya permukiman kumuh. Pertama, rendahnya akses terhadap infrastruktur dasar.

Baca Juga: Anggaran Rp32,7 Triliun, Menteri PUPR: Fokus Perbaikan 573 Ruas Jalan

Penyebab munculnya perumahan kumuh, imbuhnya, harus dipahami bahwa rendahnya akses terhadap infrastruktur daerah. Sehingga tak heran jika permukiman kumuh memiliki akses infrastruktur dasarnya yang sifatnya minim.

Kedua, rendahnya akses terhadap pembiayaan perumahan yang layak. Ketiga, belum terjaminnya keamanan bermukim (secure of tenure). "Keamanan itu belum terjamin di permukiman kumuh tersebut masih macam-macam terjadi di situ pencurian, ada yang narkoba ada," ungkapnya.

Keempat, bangunan hunian (rumah) yang tidak layak huni. Selanjutnya, kelima ialah rendahnya penyediaan lahan untuk perumahan/hunian.

Selama ini ada masalah penyediaan lahan untuk perumahan yang juga belum tertata rapi. Itu sebabnya Kementerian ATR/BPN harus bersama-sama dengan PUPR membenahi masalah pembebasan lahan.

Baca Juga: World Bank Dukung PUPR, Menteri Basuki: Bantu Capai Target RPJMN

"Kalau kita sudah berbicara terkait dengan masalah lahan sehingga kalau proses belum clean and clear lahannya, kita tidak bisa untuk melanjutkan pembangunan," ungkap Diana.

Keenam, arus urbanisasi yang tinggi dan tidak terkendali.

Program KOTAKU

Adapun, dalam rangka percepatan penanganan perumahan dan kawasan permukiman kumuh serta mendukung Gerakan 100-0-100 sesuai amanat RPJMN 2015-2019 serta RPJMN 2020-2024, Direktorat Jenderal Cipta Kementerian PUPR melaksanakan kegiatan National Slum Upgrading Project (NSUP)-Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang diinisiasi sejak 2016.

Program KOTAKU bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di kawasan permukiman kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan.

Baca Juga: Anggaran 2024, Ditjen Cipta Karya PUPR Ajukan Rp27 Triliun

Lokasi dampingan Program KOTAKU mencapai 11.332 desa/kelurahan di 330 kota/kabupaten di 34 provinsi dengan sasaran meningkatkan akses masyarakat terhadap infrastruktur dan pelayanan perkotaan pada permukiman kumuh sesuai dengan kriteria permukiman kumuh yang ditetapkan, menurunkan luasan permukiman kumuh serta penerima manfaat puas dengan kualitas infrastruktur dan pelayanan perkotaan di permukiman kumuh.

Hingga akhir 2022, melalui pendekatan kegiatan infrastruktur skala lingkungan dan infrastruktur skala kawasan, NSUP-Program KOTAKU telah berkontribusi dalam pengurangan luasan kumuh sebesar 39.094 hektare.

NSUP-Program KOTAKU telah melakukan pendampingan dalam rangka penanganan permukiman kumuh kepada pemerintah daerah dan masyarakat pada sejumlah 304 Pokja PKP, 153 Forum PKP, 11.059 Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), dan 2.099 Kelompok Pemanfaat dan Pemelihara (KPP).

Tahun ini merupakan tahun terakhir pelaksanaan NSUP-Program KOTAKU sehingga orientasi pendampingan lebih kepada strategi pengakhiran program (exit strategy) dan keberlanjutan program (program sustainability).

Baca Juga: Saling Lempar Kementerian ESDM-PUPR soal Tragedi Km 171

Untuk itu, dilaksanakan rangkaian kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat/pemerintah daerah (PKM) sekaligus penyiapan strategi keberlanjutan melalui rangkaian workshop di tingkat regional dan tingkat pusat.

"Program NSUP KOTAKU tadi dengan platform kolaborasi ini menempatkan pemerintah daerah itu sebagai nakhodanya. Jadi, harus ada nakhodanya. Ini pemerintah daerah yang harusnya jadi lead-nya, yang harusnya komit untuk menginginkan berapa dan harus tercapai. Ini mudah-mudahan terus berlanjut di kabupaten/kota," kata Diana.

Dia menambahkan, "Walaupun memang tanggal 30 Juni 2023 ini sebentar lagi statusnya sebenarnya sudah berakhir. Ini sudah kita perpanjang dari Bank Dunia, saya tidak boleh memperpanjang lagi."

Baca Juga: Gedung DPR RI di IKN, Menteri PUPR: Mulai Dibangun Tahun 2024

Ia juga mengungkapkan bahwa anggaran untuk penanganan permukiman tersebut bersumber dari rupiah murni dan juga juga dari pendanaan mitra.

Untuk penanganan kawasan kumuh dengan anggaran yang mungkin dari rupiah murni, ada pendanaan dari mitra, yang selalu berkolaborasi, seperti World Bank kemudian Asian Infrastucture Investment Bank, Islamic Development Bank dan juga Asian Development Bank.

"Saat ini, kami sudah berkolaborasi juga, yang di dalam negeri ada PT SMF (Sarana Multigriya Finansial), ini contohnya sudah banyak kemarin saya lihat yang ada di Solo juga perumahannya dibangun oleh SMF," jelas Diana.

Editor


Komentar
Banner
Banner