Pendanaan PLTU

Pendanaan PLTU Batu Bara oleh BNI, Memperparah Krisis Iklim

Bank BNI dinilai turut andil dalam memperparah laju krisis iklim, lantaran BNI mendanai besar-besaran proyek PLTU batu bara baru sebesar 1.1 Gigawatt.

Featured-Image
diskusi ”Menagih Janji Komitmen Iklim Bank BUMN” yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (6/7). apahabar.com/Andrey

bakabar.com, JAKARTA - Bank BNI dinilai turut andil dalam memperparah laju krisis iklim, lantaran BNI mendanai besar-besaran proyek PLTU batu bara baru sebesar 1.1 Gigawatt. PLTU tersebut digunakan untuk mensuplai listrik ke smelter aluminium milik Adaro di Kawasan Industri 'Hijau' Kalimantan Utara. 

Pada bulan September tahun lalu, BNI menyatakan tidak berencana ekspansi ke sektor batu bara. 

“BNI mengingkari janji mereka sendiri dengan menandatangani perjanjian pinjaman ini,” Suriadi Darmoko, Campaigner 350.org Indonesia, dalam diskusi Menagih Janji Komitmen Iklim Bank BUMN yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (6/7).

Selain BNI, ada Empat bank lainnya yang menjadi anggota sindikasi pinjaman untuk proyek milik Adaro. Berdasarkan penelusuran oleh tim peneliti kelompok lingkungan, di antaranya Bank Mandiri (BMRI), Bank Central Asia (BBCA), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), dan Bank Permata (BNLI).

Dari riset tersebut, BNI diketahui berkontribusi sebesar US$350 juta ke proyek smelter dan PLTU batu bara baru Adaro. 

Baca Juga: Ditagih Perbaiki Km 171 Tanah Bumbu: Adaro Indonesia Pikir-Pikir

Dari kelima bank Indonesia yang mendanai proyek tersebut, tidak ada yang memiliki kebijakan untuk membatasi portfolio batu bara. Meskipun lebih dari lebih dari 200 institusi keuangan termasuk bank global memiliki kebijakan pembatasan tersebut. 

Dikesempatan sama, Direktur Studi oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai keputusan bank BNI untuk menyokong proyek PLTU baru ini adalah keputusan yang berisiko tinggi bagi perbankan sekaligus reputasi BNI sendiri.

"Biaya pinjaman modal aset PLTU batu bara saat ini relatif mahal dibanding industri lainnya, disebabkan karena risiko aset terkait batu bara bisa menurun nilainya sejalan dengan fluktuasi harga batu bara, perubahan kebijakan negara tujuan ekspor, hingga dianggap tidak sejalan dengan upaya transisi energi," jelas Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif dan Ekonom Celios dalam diskusi tersebut.

Selain itu, tren global menunjukkan bahwa deposan dan investor institusional termasuk pemegang obligasi cenderung memindahkan dana ke bank yang lebih menjauhi portfolio pembiayaan ke PLTU batu bara.

Baca Juga: Dua UMKM Binaan BNI Menarik Perhatian Erick Thohir di KTT ASEAN 2023

"Terlebih ada komitmen pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership) yang idealnya sejalan dengan penutupan PLTU batu bara," ujarnya.

Karena itu, kata Bhima, menjadi aneh jika bank masih terjebak pada pola pendanaan PLTU disaat pemerintah sudah berkomitmen terhadap penutupan PLTU. "Artinya, ada yang tidak sinkron antara perintah dari pusat dan bank BUMN yang seharusnya membantu pemerintah mendorong ekonomi berkelanjutan,” tandasnya. 

Editor
Komentar
Banner
Banner