bakabar.com, JAKARTA - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana membeberkan sumber utama dari pencucian uang adalah berasal dari hasil korupsi dan narkotika dengan skor 9,0 atau masuk kategori tinggi.
“Kalau ini (aliran dana korupsi dan narkotika) yang paling banyak di industri perbankan (peringkat ke-4 dengan skor tingkat risiko 6,74 atau masuk kategori menengah), pertanyaannya, berapa banyak industri perbankan itu sudah melaporkan ini semua kepada PPATK berdasarkan kewajiban?," kata Ivan dalam acara Top BUMD Forum 2023 yang dipantau secara virtual di Jakarta, Kamis (11/5).
Selanjutnya, ujar Ivan, berapa banyak yang namanya Asbanda (Asosiasi Bank Daerah) itu sudah melaporkan kasus korupsi atau transaksi terkait dengan korupsi atau transaksi terkait dengan narkotika kepada PPATK?
"Tidak ada. Lalu, kalau resiko di Indonesia itu paling banyak adalah korupsi dan narkotika, dan kemudian bukan korupsi dan narkotika yang paling banyak dilaporkan (oleh laporan bank), ada yang salah nggak sih kira-kira?,” ungkapnya.
Baca Juga: PPATK Blokir Rekening Miliaran AKBP Achiruddin, Ada Dugaan Pencucian Uang
Saat awal mula terlibat dalam PPATK, dia menceritakan kasus pertama pencucian uang yang diketahui olehnya terkait transaksi narkotika sebesar Rp28 miliar. Seiring waktu, terjadi perkembangan hingga Rp1,5 triliun, Rp28 triliun, Rp36 triliun, hingga Rp180 triliun.
Dia heran mengapa pelaku narkotika mengirim uang ke luar negeri sebanyak lebih dari dua ribu kali ke bank, tetapi pihak bank tetap cuek dan tidak ada satupun yang dilaporkan.
“Terus ngapain lo jadi bank?” ucapnya.
Sebelum menjadi Kepala PPATK, dia menceritakan sempat ditugaskan pergi ke Hongkong guna mengetahui pengguna transaksi ratusan miliar yang beralamat di negara tersebut. Saat datang ke sana, rupanya alamat yang dituju hanya sebuah garasi.
Baca Juga: Dilaporkan MAKI, PPATK Klaim Akuntabel Jaga Kerahasiaan Data
Lebih lanjut, Ivan mempertanyakan pula bagaimana bank bisa memfasilitasi seseorang berdagang narkoba dengan menggunakan voucher palsu.
Minggu lalu, dia menyatakan bertemu dengan Ketua Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) membahas tentang perdagangan orang.
“Bagaimana bisa melakukan perdagangan orang dan bisa mencuci uangnya di bank dengan enak-enaknya, sementara orang yang diperdagangkan itu mati-matian, uangnya dilarikan ke sana. Pulang matanya nggak ada, pulang hidungnya nggak ada, dikasih air keras, diperkosa, macam-macam, dan yang memperdagangkan ini enak-enakan menabung uang di bank,” papar Ivan.