pilpres 2024

Pakar: Ada Sejumlah Kemungkinan Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres

Fahri Bachmid mengungkapkan bahwa ada beberapa kemungkinan dan varian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan usia minimum capres dan cawapres.

Featured-Image
Pakar hukum Fahri Bachmid ungkap ada sejumlah kemungkinan putusan MK soal Blbatas usia capres-cawapres. Foto: net

bakabar.com, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid mengungkapkan bahwa terdapat beberapa kemungkinan dan varian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (14/10), Fahri mengatakan bahwa amar putusan untuk pengujian materiil, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan syarat formil, pengajuan permohonan antara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan, "menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima".

"Kemungkinan berikutnya adalah dalam hal pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan, 'Menolak permohonan pemohon'," ucapnya..

Lebih lanjut dalam hal pokok permohonan beralasan menurut hukum, maka MK dalam amar putusan menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya.

Baca Juga: Yenny Wahid Maklumi Ada Pihak Gugat Batas Usia Capres-cawapres

Kemudian varian putusan lainnya adalah dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, maka amar putusan adalah mengabulkan permohonan pemohon.

Yang terakhir, dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

"Jika kita mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara "a quo" selama ini, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan," terangnya.

Kemungkinan pertama kata dia, MK dalam putusannya akan menurunkam batas usia dari capres/cawapres dari batas usia 40 menjadi 35 tahun.

Baca Juga: KPU Gaet Sejumlah Pakar Rumuskan Aturan Caleg Eks Napi Koruptor

Selanjutnya kemungkinan kedua, yakni tetap mempertahankan usia 40 tahun namun ditambahkan dengan suatu syarat khusus yaitu pernah menjabat atau menjadi kepala daerah dengan segala konsekuensi konstitusionanya, tentunya dengan melihat "experience/pengalaman" putusan-putusan MK sebelumnya.

Hal itu, kata dia, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK) pernah mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Permohonan diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam Nomor 112/PUU-XX/2022, amar putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK yang semula berbunyi, “Berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan”.

Menurut Fahri, dapat saja MK membuat putusan dengan corak dan karakter yang demikian itu, sehingga batas usia 40 tahun eksistensi normanya tetap berlaku, tetapi ditambah keadaan hukum khusus agar dapat menjangkau subjek hukum tertentu.

"Segala kemungkinan itu dapat saja terjadi, dan jika itu yang terjadi, maka dinamika pada internal Hakim MK akan terbelah, pastinya ada sebagian Hakim MK yang akan mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion," ujarnya.

Baca Juga: MK Putus Uji Materi Batas Usia Capres-Cawapres pada 16 Oktober

Menurut dia, secara prinsip, pada hakikatnya MK tak berwenang untuk menetapkan norma terkait batas umur usia capres atau cawapres dalam tata norma hukum, oleh karena persoalan penentuan batas umur terkait persyaratan untuk mengisi jabatan-jabatan publik secara konstitusional yang didasarkan pada berbagai putusan MK telah meletakkan kaidah "open legal policy" merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden.

Editor
Komentar
Banner
Banner