bakabar.com, BANJARMASIN - KPU Banjarbaru resmi mendiskualifikasi pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota HM Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah Alkaff dari Pilkada 2024.
Diskualifikasi itu dilakukan berdasarkan surat keputusan bernomor 124 Tahun 2024 yang dikeluarkan KPU Banjarbaru tertanggal 31 Oktober kemarin.
"KPU Banjarbaru melakukan tindaklanjut dengan mengambil keputusan Nomor 124 Tahun 2024 yang membatalkan HM Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah sebagai pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Banjarbaru 2024,” ujar Ketua KPU Banjarbaru, Dahtiar, Jumat (1/11).
Langkah ini diambil KPU Banjarbaru setelah Bawaslu Kalsel mengeluarkan rekomendasi yang isinya pembatalan pasangan Aditya-Said atas dugaan pelanggaran administrasi.
Dari hasil pemeriksaan Bawaslu telah ditemukan adanya dugaan pelanggaran Pilkada sebagaimana ketentuan Pasal 71 Ayat (3) Juncto Ayat (5) Undang-undang Pilkada.
Lantas apakah proses pembatalan pasangan Aditya-Said ini sudah sesuai prosedur?
Pertanyaan ini disodorkan kepada Ahmad Fikri Hadin. Dia adalah Pakar Hukum Administrasi dari Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Menurut Fikri untuk menentukan sesuai atau tidaknya prosedur yang telah dilakukan Bawaslu maupun KPU dalam pendiskualifikasin pasangan Aditya -Said tentunya perlu adanya proses pengujian yang harus dilakukan. Dan itu makan waktu lama.
“Karena ini sudah menjadi keputusan Tata Usaha Negara (TUN) sehingga dianggap sah. Jadi mau tak mau ini sudah dianggap hukum yang berlaku,” kata Fikri.
Menurut hemat Fikri alangkah terbaik yang mesti diambil pasangan Aditya-Said adalah fokus terhadap substansi pembatalan diskualifikasi. Langkah hukum itu mesti dilakukan secepat mungkin. Mengingat waktu pencoblosan yang hanya tersisa 27 hari.
Dijelaskan Fikri ada dua langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan itu. Bisa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), atau langsung ke Mahkamah Agung (MA).
Dari dua pilihan tersebut, Fikri lebih menyarankan agar pasangan Aditya-Said mengambil langkah hukum ke MA. Alasanya sederhana, karena di MA prosesnya akan lebih cepat.
“Sesuai Undang-undang Pilkada ada upaya hukum ke MA dan batasan hanya tiga hari. Disebutnya Pembatalan Keputusan KPU ke Mahkamah Agung,” jelas Fikri.
Secara spesifiknya dijelaskan Fikri bahwa MA memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa administrasi pemilihan sesuai Pasal 14 Undang-Undang Pilkada.
Ambil contoh seperti yang terjadi di Pilkada 2021 silam. Calon Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung sempat dibatalkan oleh KPU setempat saat itu atas dugaan pelanggaran.
Namun belakangan mereka melakukan langkah hukum ke MA, dan akhirnya MA mengabulkan gugatan mereka dan membatalkan diskualifikasi yang telah dilakukan KPU.
“Ada salah satu yurisprudensi digunakan pada pilkada 2021 di Bandar Lampung. Jadi dibatalkan oleh KPU, dan langsung melakukan upaya hukum ke MA dan dikembalikan lagi keputusan itu,” kata Fikri.
Di sisi lain, gugatan ke MA lebih efisien waktu. Dibanding ke PTUN bisa makan waktu hingga tiga bulan baru ada putusan.
“Kalau ke TUN timingnya kurang tepat. Kalau menurut saya Cost and benefit soal untung dan rugi. Karena tahapan Pilkada ini sudah di ujung tanduk,” pungkasnya.