Memaafkan Jokowi

OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (6)

PRESIDEN Jokowi terlampau percaya diri bahwa ia beserta timnya paling mampu mengurus negeri.

Featured-Image
Ilustrasi-Opini Memaafkan Jokowi

PRESIDENJokowi terlampau percaya diri bahwa ia beserta timnya paling mampu mengurus negeri. Hal ini tampak dalam gaung keberlanjutan program dan kinerjanya mesti dilakukan presiden berikutnya.

"Lanjutkan program Jokowi. Lanjutkan legasi Jokowi,"

Keberlanjutan program Jokowi menjadi prasyarat semu yang dilekatkan kepada pemimpin berikutnya. Sekaligus para kandidat calon presiden menanti harap dapat mengantongi endorsement politik dari Istana.

Jokowi dibatasi konstitusi untuk menjadi presiden selama 10 tahun. Tak boleh lebih sedetik pun. Maka para kandidat capres 2024 tak cukup bernyali menjadi dirinya sendiri yang menuangkan gagasannya untuk melawan rekam jejak Jokowi. Bukan malah membebek demi sumbangan elektoral.

Baca Juga: [OPINI] Memaafkan Presiden Joko Widodo (1)

Namun dengan geliat prasyarat semu keberlanjutan program Jokowi membuat para calon presiden seolah tak memiliki pikiran dan ide. Miskin gagasan. Krisis kepemimpinan. Sebab mereka tersandera dengan patokan syarat untuk melanjutkan program Jokowi.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (2)

Jika Jokowi masih ingin menerapkan program yang menjadi buah pikirnya, mengapa ia tak menjadi presiden di periode ketiga? Hal ini lebih baik dibandingkan dengan titipan warisan legasi yang mesti dilanjutkan, bukan mengujinya dengan gagasan baru.

Maka hal ini yang membuat para capres tersandera sehingga Pilpres 2024 akan miskin gagasan, hanya menengok rekam jejak Jokowi yang diglorifikasi sebagai kesuksesan. Arah baru yang dituangkan dalam pemikiran capres minim, miskin, dan nyaris tak diperjuangkan.

Apa yang dikhawatirkan Jokowi? Mengapa legasi Jokowi mesti dilanjutkan, apakah menghindari predikat kepemimpinan gagal. 10 tahun lebih dari cukup menguji Jokowi, jangan berikan waktu tambahan. Sebab hal ini mengafirmasi kegagalan Jokowi dalam memetakan pembangunan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (3)

Jokowi dan tim bukan orang sempurna yang mampu memastikan Indonesia berada di tangan yang tepat. Tidak sama sekali. Mereka hanya menumpang di Istana yang dibekali fasilitas lengkap selama 10 tahun, seiring dengan geliat rakyat yang selalu menagih pengaturan yang mumpuni tentang kesejahteraan dan keadilan.

Bahkan ekstremnya jangan sampai terdapat anggapan hanya Jokowi yang paling mampu dan tahu cara mengurus negeri. Tidak. Presiden hanya buah dari Pemilu yang dimungkinkan mendapat tiket terusan selama 10 tahun saja.

Setelahnya Jokowi bukan siapa-siapa jika telah lengser dari jabatannya. Maka para calon presiden mestinya tak berupaya untuk seolah-olah menggaet hati Jokowi demi memenangkan Pemilu.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (4)

Malu rasanya jika presiden berikutnya memenangkan pertarungan hanya karena menjadi penerus Jokowi. Meneruskan dan melanjutkan, pemimpin dengan corak yang hanya membebek. Tak memiliki jati diri yang mampu berdiri sendiri, menumpulkan gagasan baru untuk Indonesia.

Bahkan membunuh ide yang tumbuh seiring dengan perkembangan zaman dan mengglorifikasikan kinerja Jokowi yang penuh kilau. Namun Jokowi dan para elite politik luput bahwa kesengsaraan dan ketidakadilan masih dirasakan rakyat.

Apakah hal itu juga akan dilanjutkan sebagai legasi Jokowi untuk merawat kesengsaraan rakyat?

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (5)

Ego kepemimpinan Jokowi amat besar jika presiden berikutnya mesti melanjutkan programnya. Kontra-narasi mesti dilakukan calon presiden untuk memastikan negeri ini tak hanya dikuasai sekelompok orang saja. Apalagi pikiran Jokowi dan orang terdekatnya sangatlah terbatas.

Maka dibutuhkan gagasan baru, pemimpin baru yang justru menjadi anti-tesis Jokowi. Sehingga mampu menyajikan program yang lebih dapat diuji di ruang publik. 

Legasi Jokowi mesti digugurkan di periode berikutnya dengan menghadirkan ide baru yang bertarung dengan kenyataan kinerja Jokowi yang tak begitu mengesankan. Cukuplah jadi kenangan, jangan sulit beranjak untuk membuka lembaran baru.

"Jokowi ada masanya, masanya Jokowi akan segera berakhir."

Indonesia tentu bukan milik Jokowi, juga bukan milik para elite yang sekarang menumpang hidup di Istana. Seluruh rakyat memiliki hak yang sama untuk mempertentangkan dan mengadu gagasan dengan ide Jokowi.

Apalagi partai politik yang menjadi kendaraan menuju Istana mestinya terbuka dengan pikiran baru. Bukan hanya menyelamatkan diri agar tak ketinggalan gerbong kekuasaan.

Adagium perjuangan partai politik demi kepentingan rakyat tak lebih dari sekadar basa-basi. Sebab kekuasaan yang justru menjadi mimpi yang selalu ingin diwujudkan partai politik.

Tetapi perlu ruang dan kesempatan agar rakyat atau pemimpin lain duduk di Istana, seperti Jokowi. Yang diuntungkan dari posisi Jokowi yakni memiliki kesempatan jabatan. Ide dan gagasan akan turut mengiringi kesempatan memimpin.

Nasib negeri akan ditentukan isi kepala pemimpinnya. Masa Jokowi sudah berakhir. Masa pembuktian kualitas kepemimpinan Jokowi berakhir. Tamat. Maka tak perlu lagi menggaungkan keberlanjutan program Jokowi.

Baca Juga: Balas Kritik PDIP, Jokowi: Bangun Food Estate Tak Semudah Itu!

Kita mestinya menyeret para calon presiden untuk menagih ide yang akan rakyat adu dengan kinerja Jokowi. Sebab pemimpin baru harus hadir menjadi kompetitor gagasan pemimpin sebelumnya, bukan menjadi penerus saja.

Jika hanya meneruskan saja, maka untuk apa Indonesia memilih pemimpin.

"Presiden merupakan jabatan yang mampu dan berani menyajikan gagasan baru untuk arah Indonesia. Bukan sekadar pemimpin membebek dengan Jokowi. Indonesia tak bisa digantungkan nasibnya hanya dengan isi kepala Jokowi saja." - Safarian Shah Zulkarnaen.

[Selanjutnya: Memaafkan Presiden Joko Widodo (7)]

Editor


Komentar
Banner
Banner