MASALAH pencemaran lingkungan akibat limbah industri menjadi salah satu isu global yang memerlukan solusi inovatif, berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Air limbah industri sering mengandung berbagai polutan berbahaya, seperti logam berat, senyawa organik, dan zat warna sintetis, yang dapat mencemari sumber air dan mengancam ekosistem.
Salah satu pendekatan ramah lingkungan dalam mengatasi masalah ini adalah pemanfaatan limbah bulu unggas sebagai adsorben alami.
Limbah bulu unggas yang melimpah dari industri peternakan, dapat dimanfaatkan sebagai material adsorben untuk mengurangi kadar polutan dalam air limbah. Berdasarkan data, tahun 2022 di Kalimantan Selatan Populasi Unggas-Itik dan itik manila sebanyak 3.386.449 ekor menurut Kementerian Pertanian (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan).
Bila asumsi limbah bulu hasil pemotongan sekitar 4-5 persen bobot, maka dapat diperkirakan total limbah bulu itik di Kalimantan Selatan adalah 135-169 ton pertahun. Dengan karakteristiknya yang kaya akan keratin, bulu unggas memiliki potensi besar untuk menjadi alternatif yang efektif dan berkelanjutan dalam teknologi pengolahan limbah.
Penggunaan bahan alam dalam pengolahan limbah lebih disukai karena minimnya dampak negatif terhadap lingkungan. Bulu unggas merupakan biomaterial yang biodegradable dan tidak beracun, sehingga penggunaannya sebagai adsorben lebih aman dibandingkan dengan bahan sintetis yang mungkin menghasilkan limbah sekunder yang sulit diolah.
Pemanfaatan limbah bulu unggas sebagai adsorben alami merupakan salah satu inovasi yang ramah lingkungan dalam bidang pengolahan limbah. Bulu unggas, terutama dari ayam dan itik, mengandung keratin, suatu protein yang memiliki struktur kuat dan berpori sehingga berpotensi sebagai material adsorben.
Struktur keratin dalam bulu unggas memungkinkan interaksi dengan berbagai jenis polutan. Beberapa studi menunjukkan bahwa modifikasi sederhana, seperti perlakuan dengan asam atau basa, dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi bulu unggas, menjadikannya lebih efektif dalam menghilangkan polutan dari air limbah.
Dengan karakteristik ini, bulu unggas dapat digunakan untuk menyerap berbagai polutan dalam air limbah, seperti zat warna tekstil, logam berat, dan senyawa organik lainnya.
Keunggulan utama dari metode ini adalah sifatnya yang ramah lingkungan dan ekonomis. Limbah bulu unggas yang melimpah dari industri peternakan seringkali tidak termanfaatkan dengan baik dan justru menjadi masalah pencemaran.
Dengan mengolahnya menjadi adsorben, tidak hanya limbah air yang dapat dikurangi, tetapi juga limbah padat dari sektor peternakan dapat dikonversi menjadi produk bernilai tambah. Pemanfaatan bulu unggas sebagai adsorben merupakan langkah yang mendukung prinsip ekonomi sirkular dan pengurangan limbah.
Alih-alih menciptakan limbah baru, metode ini justru mengubah limbah menjadi solusi bagi pencemaran lingkungan.
Penelitian pemanfaatan keratin dari bulu ayam untuk pewarna Metilen Blue, menunjukkan bahwa bahan ini dapat mengadsorpsi sebesar 134,76 mg/g (Chowdhury and Saha 2012). Bulu ayam yang teraktivasi Na2S mampu menyerap 98, 69 persen Pb (Latifah, dkk. 2014), adsorpsi ion Pb2+ menggunakan bulu ayam termodifikasi Na2S2O5 menghasilkan kapasitas adsorpsi sebesar 11,16 mg/g (Kong et al. 2014), kapasitas adsorpsi Pb oleh bulu ayam (1,9 g/L) lebih rendah daripada bulu bebek (2,3 g/L) (Kumari and, U.Kiran Babu 2011).
Keratin dari bulu ayam dimodifikasi 6 persen CH3OH dan 2% HCl mempunyai kapasitas adsorpsi 90,6 mg/g (Khosa, Wu, and Ullah 2013). Kapasitas adsorpsi keratin dari bulu ayam dengan perlakuan asam formiat terhadap Remazol Golden Yellow RNL sebesar 10,471 mg/g (Sa'adah dkk, 2013). Adsorpsi Cu pada limbah elektroplating menggunakan bulu ayam termodifikasi NaOH/Na2SO3 menghasilkan kapasitas adsorpsi sebesar 38,43 mg/g (Nor F., W. Sunarto 2014).
Bulu itik yang diaktivasi dengan NaOH memiliki kapasitas adsorpsi Cu2+ dan Cr6+ konsentrasi yang relatif tinggi (Xiangyu Jin, Lu Lu, Haibo Wu, Qinfei Ke 2013).
Limbah bulu itik mengandung keratin melalui proses penambahan reagen seperti asam (HCl) dan basa (NaOH) , Na2SO3 (Fagbemi, Sithole, and Tesfaye 2020; Rajabinejad et al. 2018; Wang et al. 2021), HCl dengan methanol, NaOH dan Na2S2O5 (Utami et al. 2022; Utami, Cahyono, and Susanto 2020b, 2020a).
Dibandingkan dengan adsorben konvensional seperti karbon aktif atau resin ion-exchange, bulu unggas merupakan bahan baku yang jauh lebih murah. Proses pengolahannya juga relatif sederhana, terutama jika hanya melibatkan pembersihan dan pemrosesan mekanis dasar.
Secara keseluruhan, pemanfaatan limbah bulu unggas sebagai adsorben alami memiliki prospek yang menjanjikan sebagai solusi inovatif dan berkelanjutan dalam pengelolaan limbah industri.
Dengan penelitian lebih lanjut dan pengembangan teknologi yang tepat, metode ini berpotensi menjadi alternatif yang lebih aman dan ekonomis dibandingkan dengan metode konvensional yang menggunakan bahan kimia sintetis.
Penggunaan bulu unggas sebagai adsorben dapat diterapkan dalam berbagai sektor industri, terutama dalam pengolahan air limbah tekstil, pertambangan, dan manufaktur.
Dalam industri tekstil, bulu unggas dapat digunakan untuk mengurangi kadar zat warna sintetis yang sering kali sulit terurai secara biologis. Di sektor pertambangan, adsorben berbasis bulu unggas dapat membantu dalam proses remediasi air yang terkontaminasi logam berat.
Selain itu, pemanfaatan bulu unggas sebagai adsorben dapat dikombinasikan dengan teknologi lain, seperti sistem filtrasi membran atau bioremediasi, untuk meningkatkan efisiensi pengolahan limbah.
Kolaborasi antara akademisi, industri, dan pemerintah sangat diperlukan untuk mempercepat adopsi teknologi ini dalam skala yang lebih luas.
Oleh: Normilawati dan Umi Baroroh Lili Utami (Magister Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat)