Memaafkan Jokowi

OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (5)

KITA pernah membayangkan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna. Akal yang dianugerahkan Tuhan menjadi mahkota yang tak dimiliki batu.

Featured-Image
Ilustrasi-Opini Memaafkan Jokowi

KITA pernah membayangkan bahwa manusia merupakan makhluk yang sempurna. Akal yang dianugerahkan Tuhan menjadi mahkota yang tak dimiliki batu.

Tapi manusia bisa membatu. Terlebih kuasa yang menyelimuti pemimpin yang bebal dan menebalkan telinganya dari jerit masyarakat.

Manusia makhluk ajaib. Ia bukan hanya diberikan kebebasan untuk memilih. Manusia juga menerangi jalannya sendiri dan memicu gerak yang membuatnya menentukan hidup.

Baca Juga: [OPINI] Memaafkan Presiden Joko Widodo (1)

Tapi manusia bisa membatu. Menistakan manusia tak perlu menghardiknya begitu bengis. Tak perlu juga menyiksanya secara kejam. Sebagai pemimpin hanya absen dalam permasalahan masyarakat, hal itu telah menjadi nista. Sebab janji yang diumbar sedari awal menjadi awal pengkhianatan.

Lalu dibalut dengan arogansi sehingga masyarakat kerap lupa menjadi tuan. Bahkan pemimpin yang pernah mengemis dapat membalikkan keadaan dengan memaksa masyarakat mengemis kepedulian dan derita yang tak kunjung dijawab dengan beragam riuh rendah ketidakmampuan Jokowi dalam menghadirkan solusi dan rasa manusia.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (2)

Lagi, tapi manusia bisa membatu. Jokowi kini bebas memilih apapun kebijakan yang pro maupun berkhianat dengan masyarakat. Tapi yang perlu disadari bahwa itu hanya sementara. Tak mengapa masyarakat dinistakan dengan kezaliman pemimpinnya, tapi itu hanya sementara.

"Ajaibnya manusia. Dia selalu memaafkan bahkan melupakan kegagalan pemimpin".

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (3)

Meskipun ia begitu pahit menelan derita, tapi masyarakat begitu pemaaf karena nista yang dipersembahkan pemimpin hanya menjadi catatan kelam yang menjadi kenangan.

"Bisa memaafkan, tapi tak bisa melupakan".

Jokowi mungkin saja nanti lengser dengan disambut pameran pujian yang dialamatkan kepadanya. Tak perlu dipuji, itu kewajibannya melakukan lompatan. Tapi itu pun kalau mampu melompat, bukan hanya menari di tengah klaim kesuksesan dengan alunan musik fals yang membuat masyarakat resah.

Tak mengapa, masyarakat pemaaf.

Apa yang kita harapkan jika menanti momen Jokowi lengser dan meletakkan jabatannya? Minta maaf? Tak cukup!

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (4)

Jokowi mesti mempertanggung jawabkan setiap detik yang dia lewati sebagai seorang presiden yang pasif menangkap aspirasi, tumpul dengan kepedulian, dan begitu aktif dalam menyaksikan kesengsaraan masyarakat.

Lagi, menista tak perlu menghardik.

Jokowi hanya diam dan mendiamkan kesalahan, model kepemimpinan yang dapat merenggut kebahagiaan masyarakat atas nama kekuasaan - Safarian Shah Zulkarnaen

[Selanjutnya: Memaafkan Presiden Joko Widodo (6)]

Editor


Komentar
Banner
Banner