Memaafkan Jokowi

OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (4)

Jokowi dalam kebisuannya kerap mendiamkan raganya tak menyentuh masalah yang sedang mendera masyarakat.

Featured-Image
Ilustrasi-Opini Memaafkan Jokowi

JOKOWI dalam kebisuannya kerap mendiamkan raganya tak menyentuh masalah yang sedang mendera masyarakat.

Pertanyaan bergentayangan di benak masyarakat tentang manfaat kepemimpinan yang seringkali digaungkan di setiap kesempatan. Namun begitu tersembunyi dalam solusi yang menjawab pertanyaan masyakat.

Memang masalah tak bisa dibendung, tetapi kepedulian pemimpin juga tak bisa dimaafkan. Tiada guna pemimpin yang meniadakan kepeduliannya.

"Dera deru derita rakyat yang tak berkesudahan begitu berjodoh dengan pemimpin yang mendiamkan kesalahan."

Dengan agenda yang begitu padatnya agenda Jokowi ke sana kemari tunggang langgang menggunting pita, tapi ia selalu memiliki arah pulang yang nyaman dan istimewa.

Negara menyediakan ruang nyaman untuk menebus rasa Lelah Jokowi. Maka sangat mungkin kenyamanan membuat Jokowi terlena dan tumpul.

Mengikis perlahan rasa sakit, kepedulian hingga meniadakan pelik yang sedang membuat masyarakat terpuruk. ‘Saya prihatin’. Kata itu tak cukup menebus nilai guna pemimpin.

Baca Juga: [OPINI] Memaafkan Presiden Joko Widodo (1)

Maka Jokowi perlu ditagih setiap detik tentang penuntasan masalah masyarakat. Atau setidaknya meredakan permasalahan masyarakat. Meski tak menyembuhkan luka dan derita masyarakat, Jokowi harus membuat dirinya menjadi obat pereda yang membuat masyarakat pulas tidurnya.

Lalu ketika bangun, masyarakat lebih siap menghadapi hidup. Karakter masyarakat lebih kuat daripada apa yang dipikirkan Jokowi.

Jokowi bila lelah, disediakan tim dokter kepresidenan. Masyarakat yang lelah, hanya membutuhkan tidur yang beralaskan dinginnya malam. Hangatnya hanya dari suasana keakraban dan keintiman.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (2)

Wajah yang sederhana tak membuktikan kepedulian yang berlebih kepada wajah sederhana lainnya.

Jokowi memberikan contoh bahwa masyarakat dan pemimpin berjarak dan tak lekas bertemu dalam ruang pikiran yang sama. Masyarakat ingin pemimpinnya membantu, namun pemimpinnya malah terlena dengan beragam kenyamanan.

Maka patut rasanya jika Jokowi merasakan fasilitas yang tak nyaman dan keprihatinan. Bukan hanya tak enak, tapi Jokowi perlu merasakan derita masyarakat meskipun hanya lima detik saja.

Agar Jokowi memahami derita rakyat ini sungguhan, bukan sekadar akrobatik angka statistik yang membuat pusing untuk menjelaskannya. Kemiskinan itu nyata. Maka yang ilusi itu karakter pemimpin yang peduli dengan manusia.

Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (3)

Sebab ia dengan begitu mudahnya untuk melupakan manusia yang setiap detiknya membutuhan. Aku, kamu, Jokowi, dan siapapun adalah manusia yang patut diberikan ruang untuk saling peduli. Bukan abai.

"Jokowi bukan kita. Narasi Jokowi adalah kita, suatu kepalsuan yang selalu didengungkan." - Safarian Shah Zulkarnaen

[Selanjutnya: Memaafkan Presiden Jokowi (5)]

Editor


Komentar
Banner
Banner