JOKOWI mesti diadili. Sebab menjadi seorang presiden yang diamanatkan tugas untuk mengentaskan kemiskinan dan memberikan kepastian kehidupan yang layak bagi masyarakat jangan hanya diselesaikan dengan kata ‘prihatin’.
Rakyat perlu makan setiap hari, sehingga tiada kata maaf bagi Jokowi yang gagal dan mendiamkan kemiskinan serta kesengsaraan sebagai kue kegemaran masyarakat.
Jokowi mesti bertanggung jawab memastikan jabatannya tak sekadar haha hihi, namun menjadi alat hisab yang adil. Gagal disebut gagal, sukses takkan mungkin.
Baca Juga: [OPINI] Memaafkan Presiden Joko Widodo (1)
Menjadi presiden bukan sedang bertaruh di meja judi. Adu peruntungan. Tapi presiden menjadi alat untuk memastikan tidak ada satupun rakyat di Indonesia yang merasakan kelaparan.
"Tetapi radius satu kilometer dari singgasana Jokowi, apakah masih ada yang kelaparan? Tentu ada."
Maka sensitifitas Jokowi yang dikategorikan manusia patut dipertanyakan sebab seorang manusia mestinya merasakan apa yang dikeluhkan manusia lain.
Potret imajiner bisa kita lekatkan apakah saat Jokowi lengser nanti, apakah ia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya?
Pertanyaan yang sulit. Sebab lengsernya Jokowi hanya sekadar formalitas, tak ada pertanggung jawaban yang serius kepada masyarakat.
Jika rakyat menagih komitmen, janji bahkan tugas sebagai presiden, Jokowi tak bisa mengelak, apalagi meminta maaf. Pemimpin tak layak meminta maaf tapi harus kepala tegak bertanggung jawab.
Maka penting untuk mengadili Jokowi, sebab ia kadung menjadi presiden yang menentukan arah bangsa dan nasib rakyatnya.
"Jika Jokowi salah atau keliru mengambil keputusan, atau ia memiliki keterbatasan pemahaman tentang suatu persoalan, maka rakyat yang akan ditumbalkan."
Sering terjadi gelombang protes masyarakat yang dihiraukan Jokowi. Banyak. Tapi apakah Jokowi memahami arti kesempatan?
Kita begitu legowo untuk memberikan kesempatan Jokowi memimpin, tetapi mengapa kesempatan memimpin tak dimanfaatkan Jokowi untuk mengantarkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi rakyat.
Kita tak ingin memiliki pemimpin yang bebal hatinya, sebab syarat menjadi manusia memiliki kepekaan batin dengan rakyatnya. Bukan sekadar basa-basi, tapi pemimpin harus memahami arti manusia yang hidup setiap detiknya yang dihantui dengan bayang kemiskinan dan kesengsaraan.
Jokowi, masihkah yakin bisa mempertanggung jawabkan apa yang ia perbuat selama menjadi presiden?
Baca Juga: OPINI: Memaafkan Presiden Joko Widodo (2)
Jokowi harus tegak berdiri membeberkan kegagalan yang ia capai dan mempertanggung jawabkan nasib rakyat yang akhirnya menikmati kemiskinan dan kesengsaraan akibat kualitas kepemimpinan yang buruk dari Jokowi.
Tegaklah berdiri mengakui kegagalan, bukan memberangus suara minor yang jujur mengatakan kegagalan. Indonesia bukan milik Jokowi, tapi Jokowi hanya diberikan kesempatan untuk memimpin dan menentukan arah.
Tapi jika arah dan cara memaknai hidup rakyatnya tak bisa dipahami seorang presiden, maka ada atau tanpa adanya Jokowi, hidup rakyat tak berubah. Tiada guna seorang pemimpin yang memahami arti kata manusia.
Jokowi sering menari dengan kata-kata, meski seringkali terbata-bata. Pola komunikasi yang buruk, namun Jokowi masih diselamatkan dengan pemakluman masyarakat memahami apa yang ia sampaikan.
Bersabar menunggu kata yang terbata-bata. Ketegasan yang sumir, bahkan masyarakat membantu kata lanjutan di setiap pidato Jokowi.
Kita tak bisa membayangkan bahwa pemimpin tak mampu mengirim sinyal dan makna bahwa pesan pemimpin dapat menggugah masyarakat untuk berubah. Namun kita masih sibuk untuk mengajarkan Jokowi berbicara di depan umum demi memenuhi syarat dasar seorang pemimpin. Rakyat ragu, tapi maklum.
Maka dengan begitu baiknya rakyat memaklumi Jokowi dan kesempatan kepemimpinan yang dia kantongi, ternyata tak membuat dirinya lebih belajar memaknai manusia.
"Jokowi mungkin memiliki keberuntungan dan portofolio paripurna dalam karier. Tapi sayangnya jabatan presiden tak cocok dengan Jokowi yang masih belajar arti kata manusia dan memahami tugas seorang presiden," - Safarian Shah Zulkarnaen
[Selanjutnya: Memaafkan Presiden Joko Widodo (4)]