bakabar.com, JAKARTA - “The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched – they must be felt with the heart. (Hal terbaik dan terindah di dunia tidak dapat dilihat atau bahkan disentuh – mereka harus dirasakan dengan hati).” Helen Keller.
Demikian petuah bijak seorang penyandang tunarungu dan tunanetra yang juga menjadi tokoh kemanusiaan terbesar pada abad ke-20. Sepanjang hayatnya, dia terus belajar memandang dunia di tengah kegelapan dan kesunyian.
Tentu tak mudah bagi Keller untuk hidup dengan keterbatasan. Terlebih kala itu, kesetaraan bagi penyandang disabilitas belum terjamin seperti sekarang; mereka seringkali terkurung di panti perawatan, bahkan mustahil mendapat pendidikan.
Untungnya, orang tua Keller tidak demikian. Keduanya justru mempekerjakan Anne Sullivan, pembimbing pribadi yang mengajarkan Keller kecil membaca – mengingat emosinya mudah meledak lantaran tak bisa berkomunikasi dengan baik.
Terlahir Normal
Agaknya adalah hal lumrah bila Keller merasa begitu frustasi dengan kondisinya. Sebab, dia sejatinya terlahir dengan keadaan normal lagi sehat, tepatnya pada 27 Juni 1880 di Alabama, Amerika Serikat.
Malahan, Keller boleh dibilang genius. Dia sudah bisa berbicara ketika usianya masih enam bulan, lalu menjejaki langkah pertamanya di usia satu tahun. Sayang, semua berubah saat Keller memasuki usia 19 bulan.
Baca Juga: Penyebab dan Cara Mengatasi 'Panic Attack'
Putri dari Arthur dan Kate Keller ini terserang sebuah penyakit yang tidak diketahui. Dokter kala itu menyebut penyakit tersebut sebagai ‘demam otak’, di mana mengakibatkan suhu badannya sangat tinggi.
Semula, sang ibu, Kate Keller, meyadari bahwa putrinya tak menunjukkan reaksi terhadap apa pun, baik bel yang berdentang maupun lambaian tangan di depan wajahnya. Benar saja, Keller kecil kehilangan penglihatan dan pedengaran untuk selama-lamanya.
Bertemu Sang Guru
Tahun demi tahun berlalu, orang tua Keller terus mencari cara untuk berkomunikasi dengan putrinya. Upaya tersebut setidaknya membuahkan hasil; Keller telah menemukan 60 cara berkomunikasi.
Salah satunya adalah dengan menyentuh bibir lawan bicara untuk memahami ucapan mereka. Namun, cara tersebut tidak mudah diterima masyarakat. Keller lantas semakin frustasi dengan keterbatasannya, sampai-sampai menjadi anak yang ‘liar’ dan tak patuh.
Melihat kondisi putrinya yang demikian, Arthur dan Kate pun mempekerjakan Anne Sullivan, sebagaimana disebutkan di awal pembahasan. Sullivan mengajarkan cara membaca abjad dengan membentuk huruf tersebut di tangan Keller.
Baca Juga: Diplomasi Asap Kretek ala Agus Salim
Semula, Keller sulit memahami cara mengajar Sullivan karena dia tak pernah mengenal bentuk abjad. Namun, cara mengajar sang guru yang unik, lambat laun, sukses membuat Keller paham dengan cepat.
“Samar-samar aku mulai sadar, seakan-akan ada sesuatu yang terlupakan, seperti sensasi kembalinya akal budi; dan entah bagaimana misteri dari bahasa yang tidak kuketahui itu tersingkap,” kenang Keller dalam bukunya yang berjudul The Story of My Life (1903).
Dia ingat betul kata pertama yang berhasil dipelajarinya. “Saat itu aku tahu bahwa ‘w-a-t-e-r’ berarti sesuatu yang sejuk dan nyaman yang mengalir ke atas telapak tanganku. Kata yang hidup itu menggugah jiwaku, memberinya cahaya, harapan, sukacita, dan aku merdeka!”
Baca berita selengkapnya di halaman selanjutnya...
Mengeyam Pendidikan Tinggi
Selang tiga tahun usai bertemu dengan Sullivan, Keller mengungkapkan bahwa dirinya ingin belajar berbicara.
Saat berusia 10 tahun, dia mulai mengenyam pendidikan formal di Horace School for the Deaf and Hard of Hearing di Boston.
Baca Juga: Twitter Hadirkan Ikon-Ikon Baru, Bikin Cuit Makin Gaya
Sedari kecil, Keller selalu ingin merasakan pendidikan tinggi. Dia pun mempersiapkan diri untuk berkuliah, sampai akhirnya benar-benar menjadi mahasiswa di Radcliffe College pada 1900.
Empat tahun kemudian, Keller menerima gelar cum laude Bachelor of Arts di usia 24 tahun. Dia menjadi orang buta dan tuli pertama yang memperoleh gelar tersebut.
Menjadi ‘Pendobrak’ Difabel
Bukan sekadar menyandang gelar akademis, Keller terus mengembangkan keterampilan yang tak pernah dilakukan orang sepertinya: menulis tentang kebutaan.
Dia juga menulis beberapa buku, seperti The Story of My Life (1903), Optimism (1903), The World I Live In (1908), My Religion (1927), Helen Keller's Journal (1938), dan The Open Door (1957).
Tak berhenti di situ, Keller melebarkan sayapnya ke ranah politik. Tepatnya pada paruh abad ke-20, dia mulai aktif menyoroti isu sosial dan politik, antara lain hak pilih bagi perempuan, perdamaian, dan pengendalian kelahiran.
Baca Juga: Bunda Corla Dikira Transgender Gegara Suara Berat, Benarkah Pengaruh Rokok?
Keller pun tak segan-segan menyuarakan peningkatan kesejahteraan bagi tunanetra di depan Kongres.
Semangatnya dalam memperjuangkan hak difabel semakin membara, terlebih ketika dirinya bergabung dengan American Federation for the Blind (AFB).
Akhir Perjalanan Helen Keller
Tahun demi tahun berlalu, Keller terus membawa inspirasi bagi banyak orang. Sayang, perjalanan mulianya mesti terhenti saat usianya hendak memasuki 88 tahun.
Beberapa pekan sebelum ulang tahun ke-88, tepatnya pada 1 Juni, Helen Keller meninggal dunia.
Baca Juga: iPhone 14 Series Sudah Bisa Dipesan di Indonesia, Simak Harganya
Abunya lantas diletakkan di samping teman dekatnya, Anne Sullivan, di St Joseph's Chapel of Washington Cathedral.
Meski telah lama berpulang, nama Helen Keller selalu dikenang. Kesuksesan di tengah keterbatasan itu membuat sosoknya dikenal sebagai aktivis yang disegani banyak orang.
Darinya, manusia belajar, kekurangan bukanlah akhir kehidupan. Sebagaimana kata pepatah, “Ada banyak jalan menuju Roma.”