Merdeka Dalam Keberagaman

Merdeka bagi Parmalim, Tanah dan Masyarakat Adat

Bagi Parmalim, merdeka bukan hanya semata urusan seremoni. Ya, Undang-Undang Dasar menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara.

Featured-Image
Masyarakat Toba Penganut Parmalim tengah melakukan ibadah. Foto: apahabar.com/Budi Warsito.

BAGI Parmalim, merdeka bukan hanya semata urusan seremoni. Ya, Undang-Undang Dasar menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Artinya, setiap orang berhak untuk memilih dan menjalankan keyakinannya masing-masing. 

Secara spesifik dinyatakan lewat Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama”. Secara resmi negara hanya mengakui ada enam agama. Yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Kendati begitu, aliran kepercayaan (agama asli Nusantara) ternyata telah diakui melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tanggal 7 November 2017.

Aliran kepercayaan sampai saat ini masih ditemukan di sejumlah tempat di tanah air. Salah satunya di Kabupaten Toba, Sumatera Utara (Sumut). Di daerah itu, terdapat sedikitnya lima aliran kepercayaan, yakni Ugamo Malim atau Parmalim, Golongan Siraja Batak, Sijangkon Uras, Tanah Datar, dan Perbatingin.

Baca Juga: Rayakan Kemerdekaan, Warga Kampung Akuarium: Ini Merdeka Sesungguhnya

Ricardo Fernando Pangaribuan (tengah) seorang penghayat di Kabupaten Toba mengenakan pakaian khas saat ibadah dan ritual peringatan hari besar. Foto: Ricardo Fernando untuk bakabar.com
Ricardo Fernando Pangaribuan (tengah) seorang penghayat di Kabupaten Toba mengenakan pakaian khas saat ibadah dan ritual peringatan hari besar. Foto: Ricardo Fernando untuk bakabar.com

Salah seorang penganut aliran kepercayaan atau 'penghayat', Ricardo Fernando Pangaribuan bercerita bahwa mereka kini bisa menjalani ibadah dengan baik. Mereka juga diterima baik oleh masyarakat, termasuk oleh pemerintah daerah.

"Apalagi setelah catatan sipil penghayat sudah diresmikan. Sudah tidak ada pelarangan," beber Ricardo Fernando Pangaribuan kepada bakabar.com

Atas apa yang ia rasakan, Fernando memaknai peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia tak ubahnya anugerah. Ia memandang kemerdekaan dengan sebenar-benarnya merdeka. 

"Kalau dari perspektif penghayat, kemerdekaan hari ini dimaknai sebagai kemerdekaan yang sesungguhnya," tegas Fernando.

Baca Juga: Semringah Penganut Kaharingan Kotabaru Sambut Kemerdekaan

Namun masih ada sejumlah pekerjaan rumah. Peringatan kemerdekaan baginya harus lebih serius. Seperti memerdekakan tanah-tanah adat dan masyarakat adat dalam menjalankan kehidupannya sebagai mahkluk sejarah yang memiliki kehidupan tradisional. 

"Bukan hanya memerdekakan seremoni ritus. Juga harus mengawal kehidupan ekonominya, kehidupan politiknya," terang Fernando. 

Ke depan, ia berharap, penghayat sudah selayaknya dilibatkan dalam lembaga lembaga kerukunan antarumat beragama. Selain itu, pemerintah sudah saatnya mendukung perayaan hari besar penghayat. 

"Pemerintah sudah saatnya ikut mendukung fasilitas-fasilitas ibadah penghayat. Untuk di Toba, sudah cukup diperhatikan, dan sebagian sudah terfasilitasi," paparnya. 

Baca Juga: Makna Kemerdekaan bagi Jemaat Rumah Doa Bekasi

Fernando juga menitipkan pesan agar ke depan golongan Si Raja Batak bisa mendapatkan perhatian serupa. "Mungkin bagi Parmalim sudah. Semoga bagi kami golongan Si Raja Batak juga bisa lebih diperhatikan," harapnya. 

Parmalim atau Ugamo Malim merupakan kepercayaan yang dianut oleh sebagian orang Batak. Dalam sejarahnya, pimpinan tertinggi Ugamo Malim (Parmalim) yakni Sisingamangaraja I-XII.

Dalam menjalani kehidupan, penganut Parmalim taat pada Tubagasan Torop yang merupakan aturan Permalim yang sudah ditetapkan oleh 'Puguan Permalim'.

Editor
Komentar
Banner
Banner