Kelenteng Parakan Temanggung

Kelenteng Hok Tek Tong Parakan, Kelenteng Berusia 170 Tahun di Karesidenan Kedu

Kelenteng Hok Tek Tong Parakan didirikan sekitar 1830. Usianya kini sudah 170 tahun.

Featured-Image
Klenteng Parakan tertua di Karisidenan Kedu (Apahabar.com/Arimbihp)

bakabar.com, TEMANGGUNG - Kelenteng Hok Tek Tong Parakan didirikan sekitar 1830. Usianya kini sudah 170 tahun.

Bangunan bernuansa merah itu masih berdiri kokoh, halamannya bersih, sesekali terlihat umat sedang khusuk sembahyang di dalamnya. Berbeda dengan suasana di depan jalan yang ramai dan padat kendaraan, halaman bangunan bergaya Tionghoa ini terlihat bersih dan terasa syahdu.

Tempat ibadah yang berada di kawasan Parakan Temanggung tersebut bernama Kelenteng Hok Tek Tong. Namun, masyarakat lebih sering menyebutnya Kelenteng Parakan, karena letaknya berada di  Sumbersari, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.

Pegiat Komunitas Kota Toewa, Bagus Priyatna menuturkan, sebenarnya belum ditemukan catatan resmi ihwal berdirinya Klenteng Hok Tek Tong. Namun, berdasarkan benda peninggalan di dalamnya, diperkirakan Klenteng Hok Tek Tong didirikan sekitar 1830.

Baca Juga: Menelusuri Peradaban yang Hilang di Situs Liyangan Temanggung

"Ada juga yang menyebut Hok Tek Tong sebagai klenteng tertua di Karisidenan Kedu," kata Bagus, Senin (18/9).

Namun, catatan sejarah yang didapat Bagus dari penjaga dan sesepuh Klenteng tersebut menuliskan, bangunan itu dipermegah pada 1844 oleh Lie Tiauw Pik, letnan Tionghoa di Parakan.

Lebih lanjut, Bagus menceritakan, Pembangunan klenteng Parakan tak hanya melibatkan warga Tionghoa, namun juga masyarakat Temanggung.

Sayangnya, menurut Bagus, pada masa penjajahan Jepang, klenteng ini dalam kondisi terabaikan.

"Baru dipulihkan kembali saat Jepang sudah diusir dari Indonesia," tuturnya.

Gerbang Klenteng Parakan tertua di Karisidenan Kedu (Apahabar.com/Arimbihp)
Gerbang Klenteng Parakan tertua di Karisidenan Kedu (Apahabar.com/Arimbihp)

Klenteng Hok Tek Tong dilihat dari halaman luar

Menurut pengamatan bakabar.com dari luar Klenteng Hok Tek Tong terlihat Shi Zi atau sepasang singa batu yang terdapat di muka klenteng.

Sebagai informasi, Shi Zi singa bukanhewan asli Tiongkok namun menunjukkan adanya hubungan dagang antara Tiongkok dengan bangsa-di Asia Barat melalui bentuk dan coraknya.

Bagus menilai, Klenteng Parakan dibangun dengan arsitektur lebih sederhana dan tidak megah.

"Berbeda dengan arsitetur klenteng di kota-kota pesisir seperti Semarang, Surabaya atau Lasem," kata dia.

Jika ditelusuri, bangunan Klenteng Parakan terdiri atas pendopo kecil yang di bawahnya terdapat wadah dupa besar, bangunan utama tempat pemujaan dewa utama, dan bangunan tambahan untuk dewa-dewi lain.

Baca Juga: Warung Jadoel Temanggung, Rumah Makan Tua Berusia 2 Abad

"Biasanya klenteng didesain memunggungi gunung, tapi Klenteng Parakan dibangun menghadap ke barat, ke arah gunung Sindoro, ini juga unik," ujarnya.

Bukan tanpa alasan, Klenteng Parakan sengaja dibangun menghadap Gunung dengan harapan agar doa yang dipanjatkan di klenteng dapat naik sampai ke langit.

"Agar doa segera dikabulkan, menurut kepercayaan masyarakat setempat, posisi klenteng berada dalam posisi tusuk sate ( di ujung pertigaan jalan )," ujarnya.

Menelusur lebih dalam ke bagian dalam klenteng, pengunjung akan menemukan arca dewa atau Toapekong yang dihormati sebagai tuan rumah di Klenteng Parakan.

Arca tersebut adalah Dewa Bumi, Hok Tek Cing Sin yang dipuja di wilayah pedalaman yang mayoritas masyarakat bekerja di sektor agraris.

"Sebenarnya ini bukan arca asli dari Klenteng Parakan, tapi didatangkan dari Semawung di Kutoarjo, Purworejo oleh seorang Tionghoa asli yang belum diketahui namanya," jelasnya.

Berdasarkan cerita tutur masyarakat, kawasan Klenteng Parakan pernah terjadi wabah pada 1902 dan 1918 dan untuk menghilangkannya, arca tersebut dibawa keluar untuk diarak keliling.

"Supaya wabahnya hilang dan masyarakatnya bisa hidup makmur," pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner