bakabar.com, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menempuh opsi untuk 'jemput bola' terkait dengan kasus anak di bawah umur yang di perkosa oleh 11 orang dewasa di wilayah Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah.
Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu mengatakan meskipun korban hingga saat ini belum melakukan permohonan untuk mendapat perlindungan dalam mengungkap secara terang benderang mengenai kasus ini, namun LPSK saat ini tengah menemui korban berinisial RO.
Baca Juga: Pelaku Penyekapan dan Pemerkosaan Siswi SMK di Cianjur Dibekuk Polisi
Diungkapkan Edwin, bahwa salah satu pimpinan LPSK, yakni Susilaningtias, saat ini tengah menemui korban.
"Sepertinya LPSK belum (menerima permohonan dari korban). Tapi LPSK tetap akan pro aktif," kata Edwin dalam konfirmasinya kepada awak media, Jakarta, Jumat (2/6).
"Bu Susi sudah ada di sana. Beliau sudah bertemu dengan korbannya," lanjutnya lagi.
Baca Juga: Luka 13 Tusukan, Seorang Guru di HSS Kabur dari Percobaan Pemerkosaan
Edwin menuturkan pihaknya sudah mendalami kasus pemerkosaan bergilir di Parimo ini sejak sepekan lalu.
"Kami kemarin sudah mendalami kasusnya. Sejauh ini pun memang belum ada permohonan," tutur Edwin.
Diketahui, kasus pemerkosaan RO (15) di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah ini menjadi sorotan publik. Tindakan pemerkosaan ini sangat keji karena dilakukan oleh 11 orang dewasa.
Bahkan dari 11 orang pelaku itu, salah satunya merupakan anggota kepolisian dari satuan Brimob, satu lainnya merupakan kepala desa, dan satu diantaranya lagi merupakan pengajar atau guru.
Baca Juga: Bermodus 'Induksi Alami', Seorang Anak jadi Korban Pemerkosaan Pemilik Yayasan di Sidoarjo
Saat ini pihak kepolisian telah menetapkan 10 orang yang terlibat dalam kasus ini, mereka ialah ARH (40) seorang guru SD di Desa Sausu, AK (47), AR (26), MT (36), FN (22), K (32), AW, AS dan AK.
Sementara anggota Brimob dengan inisial MKS hingga kini belum ditetapkan tersangka dan masih dalam tahap pemeriksaan dengan melengkapi alat bukti.
Aksi kejinya itu dilakukan sejak April 2022 hingga Januari 2023, yang menimbulkan dampak medis. Alhasil korban harus menjalani tindakan medis pengangkatan rahim.