bakabar.com, JAKARTA - PT Agri Bumi Sentosa bebas dari tuntutan ganti rugi oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Barito Kuala, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Ganti rugi sebesar Rp561 miliar yang seharusnya dibayar oleh PT Agri Bumi Sentosa akhirnya dibatalkan dalam kebakaran yang menghabiskan lahan seluas 1.500 hektare pada 2019 tersebut.
PT Agri Bumi Sentosa sebelumnya diperiksa dan dituntut oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) yang kemudian dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 28 Desember 2022.
Baca Juga: Jokowi Ultimatum Antisipasi Karhutla, Jabatan Kapolri dan Panglima TNI Dipertaruhkan
Dalam proses sidang ada beberapa tuntutan yang sebelumnya harus diselesaikan oleh PT Agri Buni Sentosa, yakni:
1. Ganti rugi materiil Rp 160,6 miliar.
2. Biaya pemulihan fungsi lingkungan hidup sebesar Rp 336 miliar
3. Biaya untuk mengaktifkan fungsi ekologis yang hilang sebesar Rp 13,9 miliar
4. Biaya pembangunan/perbaikan hidrologi system di lahan gambut sebesar Rp 18 miliar.
5. Biaya revegetasi sebesar Rp 30 miliar.
6. Biaya pelaksanaan pengawasan pemulihan lingkungan hidup sebesar Rp 2,9 miliar.
Menanggapi hal tersebut, PT Agri Bumi Sentita kemudian mengajukan banding dan tidak terima jika harus ganti rugi sebesar itu dan dikabulkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
Baca Juga: Cegah Karhutla, Dishut Lampung Perkuat Partisipasi Masyarakat
"Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima," pernyataan putusan Pengadilan Negeri Jakarta yang juga tertera dalam website resminya, Rabu 3 Mei 2023.
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan Pengadilan Tinggi Jakarta akhirnnya mengabulkan banding PT Agri Bumi Sentosa tersebut.
Yakni berdasar ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup tersebut secara imperatif diatur bahwa gugatan ganti rugi akibat kebakaran hutan yang merusak lingkungan, pertama harus ditempuh dalam persoalan di luar pengadilan.
Namun jika tidak berhasil, kemudian ditempuh melalui pengadilan (proses Litigasi) yang merupakan aturan mutlak sesuai dengan keterangan saksi ahli dari tergugat yaitu Prof, Dr. Waty Suwarty Hartono, SH.,MH., guru besar Hukum Lingkungan.
Di hadapan majelis, saksi ahli tersebut mengatakan bahwa Undang-Undang Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009, tentang penyelesaian Lingkungan Hidup dalam Pasal 84 ayat(3) secara tegas menyatakan penyelesaian masalah lingkungan hidup dapat diselesaikan di luar pengadilan.
Baca Juga: Abai Lindungi Hutan, Pantau Gambut: Ancaman Karhutla Kembali Menanti
Namun jika memang tidak melakukan mediasi terlebih dahulu dengan membawa persoalan langsung ke pengadilan, hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang karena harusnya mediasi dan atau kesepakatan-kesepakatan dilakukan terlebih dahulu baru melalui jalur litigasi.
Pengadilan Tinggi Jakarta dalam hal ini telah mencermati bukti-bukti dari penggugat yaitu bukti P1 s.d bukti P 92.
Majelis tidak menemukan adanya bukti-bukti maupun dalil-dalil penggugat yang membuktikan penyelesaian sengketa lingkungan hidup a quo telah dilakukan terlebih dahulu penyelesaiannya melalui mediasi atau penyelesaian di luar pengadilan oleh para pihak yang bersengketa.
Pengadilan Tinggi Jakarta menilai eksepsi tergugat yang menyatakan bahwa gugatan penyelesaian sengketa lingkungan hidup tentang ganti rugi terhadap tergugat yang didalilkan penggugat, masih prematur.
Permasalahan tersebut seharusnya awalnya harus diselesaikan terlebih dahulu secara mediasi atau non litigasi.
Pengadilan Tinggi Jakarta pada akhirnya mengabulkan eksepsi tergugat tersebut.