bakabar.com, JAKARTA− Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut kembali mengintai di tahun 2023. Namun pemerintah terkesan hanya melakukan kegiatan seremonial tahunan saja.
Untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dan melakukan langkah korektif pada kebijakan dan tindakan pemerintah, Pantau Gambut merilis sebuah studi berjudul Kerentanan Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2023 pada Wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2023.
Kajian dilakukan pada wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) untuk melihat sebaran KHG yang berisiko terbakar. Uniknya, beberapa area yang seharusnya sudah direstorasi sejak 20 tahunan lalu ternyata masuk ke dalam wilayah rentan terbakar.
Peneliti dan Analis Data Pantau Gambut Almi Ramadhi menjelaskan berdasarkan studi yang menggunakan dataset tahun 2015 hingga 2019, Pantau Gambut menemukan bahwa 16,4 juta hektare area gambut di Indonesia rentan terbakar.
Baca Juga: Pengadilan Batalkan Gugatan ke Rettet den Regenwald yang Protes Kerusakan Hutan Papua
"Dimana area seluas 3,8 juta hektare masuk ke dalam kategori kerentanan tinggi (high risk) dan 12,6 juta hektare tergolong ke dalam kerentanan sedang (medium
risk),"ujarnya.
Jika melihat dari proporsi area KHG yang rentan terbakar, Provinsi Papua Selatan menjadi provinsi dengan KHG rentan terbanyak, diantaranya 97% dari total 1.421 hektare area KHG Sungai Ifuleki Bian– Sungai Dalik berada pada tingkat kerentanan tinggi.
Sementara jika merujuk pada sisi luasan area, Pantau Gambut menemukan wilayah dengan risiko tinggi terluas berada pada Provinsi Kalimantan Tengah dengan total luasan lebih dari 1,13 juta hektare2 yang tersebar pada 13 KHG.
Ironisnya, KHG Sungai Kahayan–Sungai Sebangau dengan daerah high risk terluas ini berada di dalam lokasi eks-PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut) satu juta hektare pada masa Soeharto dan saat ini sebagian eks-PLG menjadi bagian dari proyek Food Estate.
Baca Juga: Dugaan Kejahatan Lingkungan di Bentang Batang Toru Terungkap
Pantau Gambut juga melakukan analisis titik panas (hotspot) menggunakan tiga citra satelit dengan seluruh tingkat kepercayaan, dan mencatat kemunculan 1.275 hotspot, dengan indikasi karhutla pada total empat minggu, terhitung sejak bulan Januari hingga Februari 2023.
"Yang perlu menjadi perhatian adalah 381 titik panas berada di wilayah high risk dan 520 titik panas pada wilayah medium risk,"ujarnya.
Almi menambahkan, "Temuan-temuan di atas mengindikasikan adanya korelasi antara ekosistem gambut, kerentanan karhutla, dan kebakaran berulang." Lebih lagi, kerentanan tinggi juga ditemukan pada lokasi eks-PLG Kalimantan Tengah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih sejak proyek ini gagal 20 tahunan silam."
Kondisi ini seharusnya menjadi upaya untuk mengoreksi kebijakan dan mengevaluasi konsesi (khususnya yang beroperasi di atas lahan gambut).
Upaya mitigasi karhutla juga tidak sebatas pernyataan yang bersifat seremonial semata, namun harus sistematis dan menyentuh akar persoalan. "Sehingga kebijakan tidak lagi terkesan sporadis dan seremonial saja ketika ancaman
ada di depan mata," ujarnya.
Baca Juga: Takkan Habis di Eksplorasi, Papua Hadirkan Wisata Berbasis Lingkungan
Kegagalan Pemerintah
Ancaman asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali mengintai di tahun 2023, namun respons pemerintah sama menyesakkannya. Presiden Jokowi dianggap mengulangi ancaman seperti yang pernah terjadi pada tahun 2019, 2020, 2021, dan 2022 untuk mencopot pejabat TNI dan Polri jika kebakaran besar terjadi.
Juru kampanye Pantau Gambut Wahyu A Perdana menilai ancaman itu seolah menjadi kegiatan seremonial tahunan dan mengindikasikan pemerintah gagal paham dan belum menyentuh solusi untuk menangani akar masalah karhutla.
Menurutnya, terdapat dua masalah mendasar pada pernyataan tersebut. Pertama, pemerintah gagal memahami akar permasalahan karhutla. Akibatnya penanganan karhutla hanya berfokus pada pemadaman api tanpa menyentuh masalah substantif, yaitu kerusakan ekosistem gambut yang memperparah dampak kebakaran.
Kebijakan perlindungan ekosistem gambut pun direduksi dengan hadirnya UU Cipta Kerja (Peppu) yang justru memberi kelonggaran pada kasus keterlanjuran di kawasan hutan. "Data dari BPK menyebutkan setidaknya 2,9 juta hektare perkebunan sawit beroperasi di dalam kawasan hutan secara tidak sah," jelasnya.
Baca Juga: Dukung Net Zero Emission, ASDP Terapkan Kebijakan Ramah Lingkungan
Kedua, lemahnya penegakan hukum yang menyebabkan karhutla terjadi secara berulang di lokasi yang sama.
Selama periode 2015-2019 telah terakumulasi 1,4 juta hektare gambut yang terbakar, dimana 70% (1,02 juta hektare) terjadi di dalam area konsesi dan 36% (527,9 hektare) terbakar lebih dari satu kali.
Situasi menjadi semakin kompleks ketika Mahkamah Agung memenangkan Pengajuan Kembali (PK) yang diajukan oleh Presiden Jokowi di tahun 2022 pada gugatan Citizen Law Suit (CLS) karhutla di Kalimantan Tengah yang sebelumnya telah dimenangkan warga pada 2019.
"Jelas ini adalah cerminan melemahnya kekuatan hukum dalam menangani kasus karhutla,” tandas Wahyu.