bakabar.com, JAKARTA – Pembangunan proyek PLTA Batang Toru di Sumatera Utara bukan saja mengancam kehidupan manusia yang tinggal di sekitar pembangkit, juga mengancam keberlangsungan hidup Orangutan Tapanuli.
Hal itu terungkap dalam peliputan mendalam yang digagas Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bersama lima media pada pekan ini.
Lima media yang terlibat mewakili berbagai platform, yakni The Jakarta Post, Kantor Berita Radio (KBR), Jaring.id, Betahita.id dan CNN Indonesia TV.
Mereka merilis tentang dugaan kerusakan lingkungan dalam proyek PLTA Batang Toru, Sumatera Utara. Dari hasil reportase dan wawancara mendalam, tim kolaborasi menemukan fakta-fakta yang mendukung hipotesis mengenai dugaan kejahatan lingkungan dan cacat pada investasi proyek PLTA Batang Toru.
Peliputan mendalam itu secara khusus menyoroti beberapa hal, mulai dari masalah kebencanaan, tenaga kerja asing, pembiayaan hingga pihak-pihak di balik investasi ini.
Baca Juga: Takkan Habis di Eksplorasi, Papua Hadirkan Wisata Berbasis Lingkungan
Rupanya, di balik jargon energi bersih, terbarukan dan ramah lingkungan yang kerap disematkan pada sejumlah proyek PLTA, proyek PLTA Batang Toru ini malah ironis.
Ketua Umum SIEJ Joni Aswira mengatakan, sebagai organisasi jurnalis lingkungan, SIEJ berinisiatif mendorong para jurnalis untuk melihat persepketif penyelamatan kawasan dan biodiversitas dalam isu Batang Toru ini.
"Bagi SIEJ isu lingkungan hidup sejatinya bisa diulas dari berbagai dimensi," katanya. Yang pasti, menurut Joni, peliputan dilandasi perspektif untuk mendorong perubahan lingkungan yang lebih baik.
Rusak Bentang Alam
Fakta menunjukkan pembangakit listrik dari energi air itu justru dibangun di atas bentang alam yang kaya biodiversitas. Kajian proyeknya ditengarai mengabaikan aspek ekologi dan dampak sosial masyarakat.
Baca Juga: Sri Mulyani: Prinsip Adil Penting Dalam Transisi Energi
Menurut Joni, Batang Toru merupakan bagian dari bentang Bukit Barisan sepanjang Pulau Sumatera. Habitat banyak spesies di bentang alam itu, terutama Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) terancam.
"Proyek dengan terowongan berdiameter 12 meter dan panjang 12,5 km sejajar dengan Sungai Batang Toru, tepat di habitat Orangutan Tapanuli," jelasnya.
Kritik atas PLTA Batang Toru berlabel 'energi bersih' ini sempat membuat Bank of China menghentikan pendanaannya pada 2019 karena faktor pertimbangan lingkungan.
Selain itu, belum lama ini, hasil temuan audit BPK pada proyek berpotensi merugi, turut menguatkan sejumlah kejanggalan dalam pembangunan proyek PLTA Batang Toru yang diduga menyalahi tata kelola pembangunan. Kini proyek tetap dipaksakan dengan keterlibatan BUMN China.
Baca Juga: Alih-Alih Transisi Energi, JETP Dukung Hilirisasi Batu Bara
“Dalam proyek Batang Toru ini, kita melihat kompleksitas persoalan. Mulai dari ancaman terhadap kawasan, satwa dilindungi termasuk Orangutan, pun masalah kebencanaan turut dibahas," terang Joni.
Proyek Kolaborasi
Pekan PLTA Batang Toru lima media ini sekaligus menandai peluncuran 'Depati Project', platform kolaborasi liputan yang digagas SIEJ. Sebagai organisasi jurnalis lingkungan, SIEJ ingin mendorong lahirnya liputan-liputan lingkungan berdampak dapat dikemas dalam konsep kolaborasi antar jurnalis dan media.
“Diliput secara mendalam dan investigasi, khususnya tema yang berkaitan dengan kejahatan lingkungan,” ujar Joni.
Pada isu proyek PLTA Batang Toru, proses kolaborasi telah dimulai sejak November 2022. Setelah menelaah banyak dokumen, utamanya dokumen investasi, tim melakukan peliputan langsung ke lokasi proyek pembangunan PLTA Batang Toru yang berada di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Baca Juga: Sekretariat JETP Resmi Beroperasi, Luhut Yakin Indonesia Percepat Transisi Energi
Ke depan platform ini akan dikembangkan dan didorong agar pelibatan media-media berbasis di daerah atau lokal semakin banyak. "Jadi tidak hanya media berbasis Jakarta saja," tandasnya.