Kuburan Massal

Jerat Relasi Kuasa dalam Kasus Pembunuhan 7 Bayi Inses di Banyumas

Psikolog Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Dr Ugung Dwi Ario Wibowo, menganalisis kasus pembunuhan bayi inses di Banyumas.

Featured-Image
Petugas kepolisian Polresta Banyumas menggali lokasi untuk mencari rangka bayi lain di Kelurahan Tanjung Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas, Kamis (23/6). Foto: apahabar.com/Afgani Dirgantara

bakabar.com, BANYUMAS - Publik terhenyak ketika mendengar pengakuan Rudi (57), pelaku pembunuhan tujuh bayi hasil inses di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Ia membunuh bayi yang dilahirkan putrinya usai lahir dengan membekap hingga kehabisan nafas.

Hal ini mengejutkan karena dinilai di luar batas kewarasan manusia. Psikolog Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo mengatakan ada pola yang umum terjadi pada hubungan inses.

Pertama, ada relasi kuasa antara pelaku dan korban. Rudi sebagai ayah merasa lebih berkuasa terhadap anggota keluarga yang lain, baik istri ataupun anaknya, E.

Baca Juga: Ssttt.. Ada Peran Guru Spiritual di Balik Pembunuhan 7 Bayi Hasil Inses di Banyumas 

Dari relasi kuasa ini, Rudi kemudian merudapaksa E, anak perempuanya ketika berusia 13 tahun. Dengan kuasanya juga, Rudi mengancam istrinya agar tidak membeberkan perbuatanya ke luar.

"Dia merasa bisa melakukan apa saja kepada anggota keluarganya," kata Ugung.

Kedua, melihat kelahiran E hingga tujuh kali. Bahkan rumornya lebih, dalam rentang waktu 12 tahun, maka ada indikasi hiperseksualitas dalam diri pelaku. Rudi bisa jadi punya dorongan impulsif seksualitas tinggi dan melampiaskan pada orang-orang di sekitarnya.

"Impulsif namun tidak bisa memperhitungkan dampaknya, maka terjadilah peristiwa ini," ujarnya.

Baca Juga: Sadis! 7 Bayi Hasil Hubungan Inses di Banyumas Dibekap hingga Tewas

Ketiga, Ugung melihat ada kohesi sosial yang salah. Relasi ayah anak kehilangan sekat, sehingga kasih sayang dalam konteks keluarga hilang, dan merasa bisa menjadi pelampiasan hasrat seksual.

"Konteks attachment hubungan dekat hilang sekat. Hubungan ayah anak hilang menjadi lebih dari itu," katanya.

Keempat, melihat prosesnya berlangsung hingga 12 tahun sebelum akhirnya terbongkar, maka Ugung melihat mereka mengisolasi diri dari lingkungan sosial. Mereka mengasingkan diri sehingga perbuatan itu tertutup rapi.

Kenyataanya memang mereka tinggal di gubug di tepi sungai. Mereka bahkan sempat diusir warga karena resah. E pun selama ini jarang keluar, hidup tertutup di dalam gubuk.

Baca Juga: Kuburan Massal Bayi di Banyumas: Berhembus Isu Hasil Hubungan Gelap

Pengasingan itu memunculkan perasaan senasib sepenanggungan. Pada akhirnya, keluarga ini berupaya menutup diri.

Kelima, peristiwa ini biasanya terjadi pada keluarga yang tingkat pendidikan dan ekonominya rendah. Hal ini memengaruhi pola pikir, tidak mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah, sehingga satu-satunya cara adalah membunuh.

"Di keluarganya tidak tumbuh nilai-nilai keadaban seperti religi dan moralitas, sehingga tidak bisa membedakan benar salah, baik buruk dan halal haram," tuturnya.

Baca Juga: Heboh Kuburan Massal Bayi di Banyumas, Perempuan 25 Tahun Diamankan!

Perihal ilmu motif spiritual, menurutnya polisi perlu menggali lebih dalam secara psikologis apakah sekadar alibi atau memang benar. Sebab, pada kasus semacam ini, motif spiritual selalu menjadi alibi untuk membenarkan perbuatan yang di luar batas kemanusiaan.

"Apakah pendorongnya hal yang irasional atau pengaruh perilaku yang salah," ujar dia.

Editor


Komentar
Banner
Banner