Rancangan Undang-undang

Jadi Momok Bagi Pejabat, RUU Perampasan Aset Dipersulit DPR

Forum masyarakat peduli parlemen Indonesia (Formappi) ada kesengajaan DPR memperlambat RUU perampasan aset. UU itu bisa menjerat mereka.

Featured-Image
Rapat Paripurna dihadiri 40 anggota DPR Fisik, 225 virtual. (Foto: apahabar.com/BS)

bakabar.com, JAKARTA - Forum masyarakat peduli parlemen Indonesia (Formappi) menilai anggota DPR sengaja memperlambat rancangan undang-undang (RUU) perampasan aset.

Peneliti Formappi, Lucius Karus menilai hal tersebut terjadi karena RUU itu akan sangat berdampak terhadap kepentingan anggota DPR, partai politik, politisi hingga pengusaha.

"Grafik korupsi itu banyak melibatkan politisi. RUU perampasan aset persis untuk hal seperti itu. Sesuatu yang akan menjadikan anggota DPR, partai politik dan politisi sebagai target RUU," ujarnya pada tim bakabar.com, Kamis (25/5).

Baca Juga: LHKPN Polri Buruk, ISSES Singgung Pengesahan RUU Perampasan Aset

Ia menyimpulkan jika anggota DPR membahas RUU tersebut dengan cepat maka nantinya akan menggali lubang kubur diri mereka sendiri.

"Tidak ada alasan bagi pihak DPR mempercepat ini, malah memperlambat. Jadi isi RUU ini tidak menarik untuk di dukung DPR, kalau perlu diperlambat atau malah hilang sama sekali," tukasnya.

Lebih lanjut, ketidak seriusan DPR dalam memutus RUU itu juga nampak pada rapat Paripurna ke-23 pada masa Sidang V Tahun Sidang 2022-2023. Mereka tidak membahas RUU perampasan aset, tapi malah membahas APBN.

Baca Juga: Temui Ketum Parpol, Mahfud MD Minta RUU Perampasan Aset Disahkan

Praktisi hukum, Febri Diansyah menjelaskan bahwa RUU perampasan aset menjadi momok bagi para koruptor karena memiliki kewenangan yang sangat besar.

Ia berkata bahwa RUU itu tidak hanya bisa memenjarakan para koruptor, tapi juga memiliki kewenangan untuk mengambil seluruh aset yang merugikan negara tanpa perlu proses hukum.

"Jadi di RUU perampasan aset, targetnya adalah aset, bukan orang atau tersangka. RUU ini sangat berbeda dengan metode penegakan hukum konvensional," tuturnya.

Singkatnya, RUU perampasan aset tidak menggunakan mekanisme peradilan pidana konvensional, namun lebih simpel.

Baca Juga: Wakil Ketua MPR Minta Presiden Buat Perppu Perampasan Aset

Pada tindak pidana konvensional, korupsi ditangani polisi, jaksa atau KPK yang harus melalui berbagai tahap seperti penyelidikan, penyidikan dan penuntutan lalu masuk ke pengadilan tipikor.

Di pengadilan tipikor sendiri bisa diterima, banding, kasasi dan memiliki proses yang panjang sebelum akhirnya dieksekusi.

"Tindak pidana korupsi pun uang penggantinya sangat terbatas, ada kelemahan di pasal 18 undang-undang tindak pidana korupsi karena diatur di sana uang pengganti sebatas maksimal yang dinikmati terdakwa," jelasnya.

"Padahal kasus korupsinya besar, kerugian negaranya besar tapi pengembaliannya kecil, karena ada hambatan di pasal 18," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner