Mengemban jabatan kabareskrim, Agus digadang-gadang sebagai sosok terkuat menggantikan Listyo Sigit. Namun Bambang berkata tidak sekalipun pernah, sosok kapolri yang dipilih presiden lebih senior dari yang akan digantikan.
"Pascareformasi tidak pernah. Semuanya digantikan juniornya. Hanya saja di era Presiden Jokowi ini, pergantian yang memotong sekian angkatan itu menjadi masalah," ujarnya.
Bambang menjelaskan sedianya tak pernah ada aturan tertulis mengenai senior menggantikan juniornya sebagai Kapolri. "Tidak ada. Hanya ada kesepakatan tak tertulis di antara para senior turun temurun," jelasnya.
Misalnya saja ketika seseorang yang diangkat menjadi bintang 3 harus pernah menjabat Kapolda minimal 2 kali, dan salah satunya Polda tipe A-1.
"Listyo Sigit ini hanya pernah sekali menjadi Kapolda, itupun tipe A-2 Polda Banten," jelasnya.
Pun demikian jenjang pendidikan, harus melalui sekolah staf dan pimpinan tinggi (Sespimti) atau sekolah staf dan komando bagian gabungan (Seskogab). Bukan cuma Lemhanas yang merupakan kursus umum terkait pertahanan nasional. Listyo sendiri, kata Bambang, tidak pernah melalui Sespimti, hanya Lemhanas.
"Tapi, namanya prerogatif presiden, ya suka-suka presiden 'lah. Entah karena yang membisiki keliru, atau presidennya yang sekadar mengikuti keinginannya sendiri," jelas Bambang.
Pergantian memotong sekian angkatan tak hanya terjadi di Listyo Sigit, namun juga semasa Tito Karnavian menjabat kapolri. Namun Tito, kata Bambang, memiliki rekam jejak yang sudah lengkap. Dilihat dari kompetensi dan kualitas personalnya. Sedang Idham Azis, menurutnya tak perlu dihitung karena hanya pejabat antara saja.
"Yang menarik memang kapolri saat ini. Kelebihan dalam rekam jejak karirnya hanya karena dekat dengan presiden," papar Bambang.
Baca Juga: KPK Respons Skandal Ismail Bolong, MAKI: Jangan Ada Cicak Vs Buaya Jilid Tiga
Tak hanya Listyo Sigit, kata Bambang, hampir semua perwira bintang tiga di Polri saat ini tidak mengikuti aturan tak tertulis itu. "Wakapolri hanya satu kali kapolda, begitu juga dengan Kabareskrim," ujarnya.
Siapa yang membuat perubahan dalam hal pengaderan tersebut? Menurutnya, tentu saja Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) Mabes Polri, terutama ketika kapolri dijabat Tito Karnavian.
"Ada percepatan-percepatan promosi untuk orang-orang terdekat (seperti jargon promoter) di era Kapolri Tito Karnavian," jelasnya.
"Dan ini diteruskan di era Idham Azis. Tak salah bila akhirnya problem-problem itu muncul di era Listyo Sigit ini," sambungnya.
Baca Juga: Skandal Setoran Emas Hitam Kaltim, Pernyataan Ismail Bolong Soal Brigjen Hendra Diragukan!
Terkhusus Herry Rudolf Nahak. Bambang melihat polisi berlatar serse itu lebih banyak berkarir di Densus 88.
Perjalanan karir Herry, menurutnya tentu tak bisa dilepaskan dari peran Tito Karnavian. Bintang dua peraih Adhi Makayasa 1990 itu mendapat penugasan di BNPT pada 2016 dan promosi ke direktur pidana umum Bareskrim 2017 saat Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolri.
"Dalam kasus Ismail Bolong dugaan saya, HRD [Herry] ini tidak secara langsung terlibat. Dia berada di waktu dan tempat yang tidak tepat. Soal upeti-upeti itu diduga bukan pada HRD saja, tetapi pada siapapun yang jadi Kapolda. Dan bukan pada Kapolda Kaltim saja," pungkas Bambang.
Sampai berita ini diturunkan, Herry Rudolf Nahak belum merespons upaya konfirmasi bakabar.com.