Komjen Agus adalah Kabareskrim saat ini. Sedang Irjen Rudol Nahak adalah kepala sekolah staf dan pimpinan menengah (kasespim) Lemdiklat Polri. Nama kedua senior Listyo Sigit itu disebut-sebut menerima maupun mengelola uang koordinasi pengamanan dari pengusaha tambang ilegal Kaltim, salah satunya Ismail Bolong.
"Hukum itu tidak mengenal senioritas. Tidak dalam terma senior-junior dalam kamus penegakan hukum. Kalau bersalah, ya harus diproses. Siapapun dia, apapun jabatannya," ujar Pegiat Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah dihubungi bakabar.com, Rabu (23/11) siang.
Castro, sapaan karib Herdiansyah, menjelaskan kedua perwira senior tersebut bisa saja dijerat dua pidana sekaligus. Pertama UU mineral dan batu bara. Dan kedua pidana korupsi sesuai UU Tipikor, jika terbukti menerima suap atau gratifikasi.
"Saya sih lebih menyarankan untuk khusus dugaan suap dan gratifikasinya, ditangani aparat penegak hukum lain. Itu untuk menjamin objektifitas penanganan perkarannya. Biar tidak jeruk makan jeruk," jelasnya.
Baca Juga: Setengah Hati Menangkap Ismail Bolong, ISESS: Wacana Kosong ‘Bersih-Bersih’ Polri
Castro tak menampik kultur abang-adik asuh saat ini menjadi momok Kapolri untuk menindak Herry Rudolf apalagi Agus Andrianto. "Ini memang problem kultur di dalam tubuh kepolisian yang perlu direformasi secara total. Autokritik penting dalam sebuah lembaga," ujarnya.
"Pimpinan belum tentu selalu benar. Jadi kepatuhan seorang anggota kepolisian itu bukan terhadap pimpinan, tapi terhadap korps dan nilai-nilai kebenaran yang harus dipegang teguh."
Jenderal Sigit merupakan jebolan akademi polisi (akpol) 1991. Sedang Irjen Herry Rudolf adalah jebolan akpol 1990. Komjen Agus lebih senior lagi. Orang nomor satu di Bareskrim Polri itu adalah jebolan akpol 1989.
Castro sebelumnya memaknai diamnya petinggi Polri selama ini dalam kasus Ismail Bolong menyiratkan ada sesuatu yang hendak mereka sembunyikan.
"Publik menduga para petinggi sedang merencanakan skenario untuk melepaskan anggotanya dari jerat hukum. Ini tentu saja tidak selaras dengan pernyataan Kapolri untuk membenahi institusinya," ujar Castro.
"Jadi seolah semacam lips service yang tidak sejalan dengan tindakannya. Janji Kapolri itu sebatas jargon kosong. Jadi tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan publik terhadap institusi ini semakin merosot," ujarnya.
Pelaku kejahatan tambang ilegal, kata Castro, tak mungkin seberani Ismail andai tidak mendapatkan beking dari aparat di lapangan.
Pernah satu kasus yang masuk pengadilan, yakni tambang ilegal di Tanah Merah tepat di lokasi pemakaman Covid-19. Dalam fakta persidangan sempat tersebut nama salah satu anggota kepolisian.
"Tapi ini tidak pernah diusut dan dibiarkan menguap sampai sekarang seperti pengakuan Ismail Bolong itu," ujarnya.
Fenomena Ismail Bolong begitu mengherankan Castro. Terlebih, tempus delicti atau waktu kejadiannya tidak terlampau lama.
"Bahkan laporan pemeriksaan Propam tadi itu 'kan tertanggal 7 April 2022. Kenapa didiamkan dan seolah hanya selesai di internal kepolisian?" ujarnya.
"Ini kan berarti kepolisian sendiri sedang mengendapkan kejahatan. Kacau! Coba bayangkan paradoksnya, aparat penegak hukum menyembunyikan kejahatan," jelasnya.
Analisis ISESS
"Ini yang menjadi problem ketika Kapolri dipilih terlalu muda dan hanya mengandalkan kedekatan dengan presiden. Akibatnya yang repot presiden sendiri," ujar Bambang dihubungi terpisah.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya: