bakabar.com, JAKARTA - Kondisi alam dan keberadaan sungai besar di sekitar kawasan proyek lumbung pangan membuat proyek tersebut terancam gagal. Sebab, genangan tanah memengaruhi kondisi hara tanah di kawasan tersebut.
Meski begitu, Kepala Staf Kepresidenen Moeldoko membantah proyek lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah disebut terancam gagal. Ia beralasan kondisi alam saat ini tidak mudah karena berkaitan pada tata ruang air dan kondisi tanah.
"Memang lumbung pangan, khususnya padi yang saya lihat kawasan itu adalah kawasan yang 'flat' sehingga tidak mudah dalam me-manage airnya karena sungai yang besar itu selalu membuat kondisi naik turun," katanya seperti melansir Antara, Jumat (23/12).
Baca Juga: Sosok Mayor Pemerkosa Kowad di G-20 Terungkap, Moeldoko: Tegas Saja
Merespons persoalan tersebut, Kementerian Pertanian dan pemda masih terus melakukan perbaikan tata air. Oleh karena itu, ia menilai proyek ini belum tentu dikatakan gagal ataupu berhasil.
"Sebenarnya kita masih dalam proses memperbaiki manajemen airnya. Belum dikatakan buru-buru berhasil dan belum dikatakan buru-buru gagal karena itu masih dalam proses," kata dia.
Moeldoko juga menambahkan bahwa produksi padi masih terus digenjot karena kondisi manajemen air yang tidak mudah.
Sebelumnya, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Muhammad Yadi Sofyan Noor mengatakan program lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah perlu dilanjutkan untuk mencapai ketahanan pangan nasional di masa mendatang.
Yadi mengatakan program tersebut penting sebagai pengganti penyusutan dan konversi lahan pertanian di Pulau Jawa.
Baca Juga: Moeldoko Beberkan 5 Strategi Pemerintah Percepat Transformasi Digital
Dia mengakui program lumbung pangan di Kalimantan Tengah masih membutuhkan perbaikan dalam pelaksanaannya, seperti tata ruang air dan kondisi tanah.
"Sebagian masih dirapikan, termasuk irigasi. PH tanah juga masih asam, perlu pengapuran. Tapi, ada juga yang sudah bagus dan bisa ditanami dengan hasil baik," katanya.
Selain itu, petani juga masih harus terus didorong untuk mengubah kebiasaan ritme tanam padi, dari yang hanya satu kali dalam setahun diharapkan menjadi lebih sering, yakni dua sampai tiga kali dalam setahun.