bakabar.com, RANTAU - Dalam rapat dengar pendapat bersama PT Energi Batu Luhur (EBL), perwakilan warga Desa Bitahan Baru dan delapan desa di Kecamatan Piani menyampaikan keluhan atas dampak aktivitas tambang.
Kepala Desa Miawa, Amat, menjelaskan bahwa genangan air yang menutup jalan utama sudah terjadi berulang kali setiap hujan deras turun.
"Dulu aliran airnya lurus, cepat turun. Sekarang karena dibelokkan ke samping akibat galian tambang, air malah tertampung dan meluber ke jalan," jelasnya.
Menurut Amat, ketinggian air bisa mencapai 20 sentimeter dan berpotensi meningkat jika hujan turun terus-menerus.
Padahal masyarakat hanya memiliki satu akses utama untuk menuju pusat ibu kota kabupaten, "Kalau jalan terendam, otomatis aktivitas warga lumpuh total. Makanya kami minta dua hal. Jalan dikeringkan dan diperbaiki seperti semula," tegasnya.
Dalam RDP tersebut, pihak perusahaan berjanji akan melakukan pengeringan dalam waktu satu minggu. Namun, Amat menegaskan warga akan melakukan aksi penutupan aktivitas tambang jika dalam waktu itu kondisi tidak membaik.
"Kalau sampai air tidak surut, masyarakat siap turun menutup tambang," tambahnya.

Sementara Kepala Desa Bitahan Baru, Safarudin, menyampaikan keluhan lain tak kalah serius berupa blasting (peledakan batu) yang dilakukan PT EBL tanpa sosialisasi kepada warga.
"Dulu disepakati kalau dilakukan blasting, harus didahului pemberitahuan dan pengukuran dampak. Namun sekarang dilakukan tanpa sirine, tanpa sosialisasi, langsung blasting di Blok 2," ungkap Safarudin.
Akibatnya, puluhan rumah, masjid, dan kantor desa mengalami retak akibat getaran dari ledakan blasting. Dan kemungkinan jumlah itu bertambah seiring pendataan lanjutan.
"Kurang lebih 30 rumah warga terdampak retak, Bahkan, aktivitas belajar di TK dan PAUD dekat lokasi tambang kini terganggu akibat debu dan suara bising alat berat," jelasnya.
"Kami minta perusahaan hentikan dulu blasting sampai ada kesepakatan yang jelas. Selain itu, rumah warga yang rusak harus diperbaiki dan diberikan kompensasi," imbuhnya.
Safarudin menegaskan jarak lokasi peledakan dari permukiman warga hanya sekitar 300 meter, bahkan sebagian hanya 10 meter dari kantor desa.
"Bising, berdebu, dan sangat mengganggu. Kalau ini terus berlanjut, kami akan minta DPRD mendampingi warga untuk mengambil langkah tegas," tandasnya.
Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan awal bahwa aktivitas blasting sementara dihentikan satu hari dan sembari menunggu perusahaan untuk berkoordinasi dengan pimpinan pusat.
Dalam berita acara kesepakatan, DPRD meminta agar perusahaan menindaklanjuti persoalan tersebut baik dalam jangka pendek maupun panjang.
DPRD Tapin akan kembali mengundang pihak perusahaan dalam waktu satu minggu untuk mendengarkan hasil koordinasi dan langkah konkret yang diambil.











