bakabar.com, JAKARTA - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyayangkan keputusan pemerintah menunda penerapan cukai minuman berpemanis hingga tahun 2024. Menurut CISDI, menunda pengenaan cukai minuman berpemanis berpotensi memperbesar risiko kesehatan yang dialami masyarakat.
Keputusan pemerintah itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam konferensi pers, Senin (24/7). Dalam keterangannya, Askolani mengatakan bahwa penundaan pengenaan cukai minuman berpemanis dikarenakan tiga alasan.
Salah satu alasan pemerintah adalah mempertimbangkan kondisi industri makanan dan minuman yang saat ini belum stabil akibat dampak pandemi COVID-19. CISDI menilai alasan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi tidak relevan dengan penundaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Sebab, cukai MBDK yang dipungut tidak berasal dari kebutuhan pokok, melainkan minuman berpemanis, seperti teh, susu berpemanis, soda, hingga minuman serbuk dalam kemasan.
Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis dan Plastik, YLKI: Dampaknya Tak Signifikan
“Tahun lalu pemerintah juga menunda dengan dalih yang sama. Padahal, kondisi kesehatan juga erat hubungannya dengan kondisi ekonomi. Tingginya beban biaya kesehatan sebesar Rp108 triliun (BPJS, 2019) yang diakibatkan penyakit terkait konsumsi gula, justru seharusnya membuat cukai MBDK menjadi kebijakan yang penting untuk segera diterapkan di Indonesia,” ungkap Calista Segalita, Project Lead Food Policy CISDI dalam keterangannya, Kamis (27/7).
Calista mengungkapkan perbincangan mengenai cukai MBDK sudah dimulai sejak 2016. Sementara itu, dalam dua tahun terakhir berbagai upaya telah dilakukan untuk menyampaikan pentingnya cukai minuman berpemanis, antara lain lewat kegiatan riset dan advokasi, diskusi kelompok terarah dengan pemangku kebijakan, kampanye publik, hingga petisi yang didukung 16 ribu lebih tanda tangan.
Petisi juga sudah disampaikan kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada November 2022. Cukai MBDK bahkan sudah masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023.
"Tapi, lagi-lagi pemerintah menunda pengesahannya tahun ini. Pemerintah seolah abai dengan fakta yang menunjukkan konsumsi minuman berpemanis terus meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir,” terang Calista.
Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis dan Plastik Tak Terealisasi, YLKI: Askolani Tampak Ambigu
Calista menambahkan, kenaikan konsumsi minuman berpemanis sejalan dengan peningkatan signifikan pada prevalensi obesitas dan diabetes serta penyakit tidak menular lain di Indonesia.
Dampaknya, beban kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular juga tinggi. Salah satu faktor yang berkontribusi pada peningkatan beban ini adalah konsumsi minuman manis, khususnya MBDK.
“Konsumsi MBDK terbukti berisiko meningkatkan kejadian obesitas, penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, beberapa jenis kanker dan gizi kurang," paparnya.
Karena itu, pembatasan konsumsi MBDK, ujar Calista, terutama melalui kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik mendesak untuk diberlakukan.
Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis dan Plastik, Pengamat: Itu Mematikan UMKM
Implementasi kebijakan cukai di lebih dari 49 negara juga terbukti efektif menurunkan tingkat konsumsi MBDK serta mendorong formulasi ulang produk menjadi lebih sehat (lebih rendah gula).
Bahkan, menurut estimasi Kementerian Keuangan, cukai MBDK berpotensi meningkatkan pemasukan negara sekitar Rp2,7 triliun hingga Rp6,25 triliun per tahun. Potensi tambahan penerimaan negara itu dapat digunakan untuk membantu pembiayaan upaya preventif dan promotif kesehatan masyarakat yang selama ini alokasi anggarannya masih sangat minim, khususnya terkait penyakit tidak menular seperti diabetes dan obesitas.
Atas dasar itu, menurut Calista, CISDI menuntut pemerintah untuk segera memberlakukan pengenaan cukai untuk produk MBDK minimal sebesar 20% berdasarkan kandungan gula untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat hingga 17,5%.
Hal lainnya, mengedukasi masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi minuman atau makanan berpemanis dengan kadar tinggi. Serta mengenakan kebijakan cukai MBDK secara serentak ke semua skala usaha.
"Terakhir, mempertajam peraturan mengenai pelabelan informasi gizi pada produk MBDK agar masyarakat sadar bahaya bila mengkonsumsinya terlalu banyak," tandasnya.