bakabar.com, JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari CISDI, Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak agar pemerintah dan DPR menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
“Jumlah kasus obesitas dan penyakit tidak menular di Indonesia meningkat signifikan sepuluh tahun terakhir. Sementara, instrumen yang diyakini bisa menekan angka peningkatan tersebut, yaitu cukai MBDK, masih terus ditunda," kata Chief Research and Policy CISDI, Olivia Herlinda, dalam media briefing bertajuk Cukai MBDK Jangan Dianggap Musuh Industri di Jakarta, Kamis (14/9).
Ia menilai, hingga saat ini masih ada sejumlah pihak yang kontra terhadap pemberlakuan cukai pada MBDK karena dianggap merugikan industri dan ekonomi. Padahal, beberapa riset menyebut cukai MBDK memberi dampak baik terhadap industri.
Baca Juga: Luhut Setengah Hati Bongkar Ekspor Nikel Ilegal di Kalsel
Salah satunya potensi kenaikan MBDK sebesar 1 persen setelah cukai berpotensi meningkatkan permintaan air mineral sebanyak 0,33 persen.
Selain itu, penerapan cukai juga akan menggeser konsumsi MBDK ke produk lebih rendah gula, seperti teh hijau kemasan tanpa gula. Hal ini dijumpai di Thailand dan Vietnam.
“Jadi, pendapatan industri yang menurun dari MBDK bisa digantikan dengan pendapatan dari air minum dalam kemasan (AMDK) dan minuman rendah gula lain. Sebab, produsen MBDK biasanya memproduksi beberapa jenis minuman,” kata Zulfiqar Firdaus, Health Economics Research Associate CISDI.
Adapun dari segi potensi penerimaan negara, cukai MBDK diperkirakan dapat menyumbang Rp2,44 triliun sampai Rp3,62 triliun jika penerapannya memicu kenaikan harga produk minuman berpemanis sebesar minimal 20 persen.
Baca Juga: Menelisik Sumber Ekspor Gelap Nikel Kalsel ke China
Juli lalu, pemerintah memutuskan menunda penerapan pungutan cukai MBDK yang seharusnya berlaku tahun ini. Alasannya, kondisi industri makanan dan minuman belum sepenuhnya pulih akibat dampak pandemi COVID-19 selama tiga tahun terakhir.
Padahal, pemerintah sebenarnya telah menargetkan pungutan cukai minuman berpemanis dalam penyusunan RAPBN 2023, tepatnya dalam Buku II Nota Keuangan. Dikatakan, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi tahun 2022 hingga 5,31 persen dan memiliki ruang fiskal untuk memberlakukan cukai MBDK tahun ini.
“Pengesahan RAPBN 2024 menjadi momen yang sangat penting supaya pemerintah tidak lagi menunda penerapan pungutan cukai MBDK," kata Olivia.
Baca Juga: Luhut Belum Mau Ungkap Dalang Ekspor Gelap Nikel Kalsel!
Studi meta analisis pada 2021 dan 2023 mengestimasi setiap konsumsi 250 mililiter MBDK akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 12 persen, risiko diabetes tipe 2 sebesar 27 persen, dan risiko hipertensi sebesar 10 persen.
Mengadaptasi temuan World Bank (2020), penerapan cukai diprediksi meningkatkan harga dan mendorong reformulasi produk industri menjadi rendah gula sehingga menurunkan konsumsi MBDK. Penurunan konsumsi MBDK akan berkontribusi terhadap berkurangnya tingkat obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes, stroke, hingga penyakit jantung koroner.
Baca Juga: Ekspor Gelap Nikel Kalsel ke China Sampai KPK!
Berdasarkan sejumlah studi di atas, CISDI menyampaikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah dan DPR RI:
1. Segera berlakukan cukai untuk produk MBDK minimal 20% berdasarkan kandungan gula untuk menurunkan konsumsi MBDK masyarakat hingga 17,5 persen.
2. DPR menyetujui usulan Kementerian Keuangan untuk menambahkan obyek cukai minuman berpemanis dalam kemasan di Undang-Undang APBN 2024.
3. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian memberikan pendampingan dan sosialisasi untuk industri terdampak, termasuk UMKM.
4. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengedukasi masyarakat mengenai bahaya mengkonsumsi minuman atau makanan berpemanis kadar tinggi.
5. Pemerintah, melalui BPOM, memperbaiki pengawasan dan penegakan peraturan serta standarisasi pelabelan informasi gizi pada produk MBDK untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya minuman tinggi gula.