bakabar.com, JAKARTA - Sejumlah masyarakat sipil menyoroti persoalan baik secara konten maupun substansi draf rencana investasi yang terangkum dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Dokumen tersebut kini dapat diakses di laman jetp-id.org yang sudah diluncurkan pada Rabu (1/11).
"Dokumennya saja pakai bahasa inggris. Ini (dokumen) sebenarnya minta ditinjau oleh masyarakat yang mana? Masyarakat asing?," tanya Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara dalam konferensi pers Transisi Energi Setengah Hati: Tinjauan Kritis Masyarakat Sipil atas Dokumen Rencana Investasi JETP Indonesia, Jakarta (15/11).
Bhima menilai saat peluncuran draf yang dilakukan secara singkat dengan menggunakan bahasa Inggris, membuat masyarakat mengalami keterbatasan untuk memelajarinya.
Baca Juga: Awas! Angka Pengangguran Baru di Balik Suntik Mati PLTU
Baca Juga: Suntik Mati PLTU Cirebon-1, IESR: Jauh dari Target Ambisi
Terlebih, pihak Sekertariat JETP juga meminta agar masyarakat berhati-hati dalam memahami teks dokumen tersebut. Lantaran banyak bahasa teknis yang sulit diartikan.
"Akhirnya yang muncul konflik. Kan tidak semua bisa bahasa Inggris. Tahu-tahu keputusannya seperti itu. Mereka belum memahaminya. Protes yang ada," jelasnya.
Tak hanya dari aspek bahasa, Bhima menegaskan dokumen tersebut lebih seperti memberikan harapan palsu. Pasalnya, pada bagian pendanaan tampak jelas alokasi anggaran untuk transisi energi tersebut justru belum dipersiapkan.
"Transisi energi, ekspektasi ketinggian. Kenyataannya uangnya belum ada," tegasnya.
Baca Juga: Genjot Bauran EBT, CELIOS: Jangan Berhenti di Peresmian PLTS Cirata!
Karena itu, Bhima mempertanyakan letak keseriusan dari Kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang memutuskan negara maju memberikan bantuan kepada negara berkembang.
"Tapi ternyata bentuknya utang," ungkap dia.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustaya melihat lahirnya dokumen tersebut bakal menciptakan kesenjangan yang besar terkait ekspektasi untuk menjadikan JETP sebagai katalis percepatan transisi energi berkeadilan dunia.
"Kalau kita mengacu pada rencana JETP pada saat ini sangat berat untuk kita bicara JETP menjadi katalis," terang dia.
Baca Juga: Perdagangan Global Terhambat, Sektor Industri Perlu Percepat Transisi Energi
Secara tertulis, Tata menyoroti dokumen tersebut yang berkaitan dengan pensiun pembangkit listrik tenaga fosil secara dini. Padahal, dalam eksekusinya memerlukan bantuan pendanaan internasional.
"Saya kira minimnya dana untuk menyuntik mati (PLTU). Agar dalam pendanaannya kita tidak bergantung," jelas dia.
Indonesia Finance Campaigner 350.org, Suriardi Darmoko menilai dokumen tersebut tidak menunjukan keseriusan untuk melakukan transisi energi. Pasalnya, isi dokumen tersebut luput melihat bantuan pemerintah daerah dan komunitas dalam hal mendukung pembangkit energi bersih.
"Siapa yang harusnya di kecualikan? Siapa yang harusnya ditinggalkan? Ternyata ada pihak (pemda dan komunitas)," tanya dia.
Baca Juga: Pendanaan Suntik Mati PLTU Jauh dari Prinsip Keadilan
Dia merasa dengan dikesampingkannya pihak tersebut menunjukan bahwa orientasi JETP cenderung untuk urusan bisnis. Tidak lagi untuk mengoptimalkan misi transisi energi seperti yang digembor-gemborkan saat ini.
"Jangan-jangan ketika dokumen ini muncul pikirannya hanya IPP aja. Jika hanya berpikir ganti bisnis saja. Pakai duit batubaranya untuk melakukan transisi," pungkasnya.
Baca Juga: 3 Catatan IESR Usai Jokowi Resmikan PLTS Cirata
Sebelumnya, Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) memberikan beberapa usulan kebijakan sektor ketenagalistrikan kepada pemerintah untuk mencapai target JETP.
Wakil Kepala Sekretariat JETP Paul Butarbutar mengatakan, terdapat tujuh usulan yang akan mendorong tercapainya tujuan JETP.
“Secara prinsip kita masukan tujuh usulan kebijakan yang perlu diambil agar hal yang sudah disampaikan, seperti poin-poin atau investasi ataupun kegiatan yang diperlukan untuk mencapai target JETP itu bisa dicapai,” kata Paul dalam Dialog Masyarakat Sipil JETP, Selasa (14/11).
Baca Juga: PLN Klaim PLTS Cirata Mampu Kurangi 214 Ribu Ton Emisi Karbon per Tahun
Paul menjabarkan tujuh usulan tersebut meliputi persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), insentif dari sisi penawaran, perbaikan proses pengadaan energi terbarukan, perjanjian jual beli untuk energi terbarukan, dan terkait pemensiunan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
“Lalu, yang penting terkait masalah financing, yaitu menjamin keberlanjutan financial balance dan penguatan kebijakan keuangan untuk dukung transisi energi,” ujarnya.
Paul berharap tujuh usulan tersebut dapat dipertimbangkan oleh pemerintah dalam melakukan perencanaan dalam perumusan kebijakan.