News

Termasuk di Kalsel, Ilusi Transisi Energi Mengancam Hutan Indonesia

Ambisi Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan target transisi energi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan.

Featured-Image
Ilustrasi PLTU co-firing. Foto: istimewa

bakabar.com, BANJARMASIN - Ambisi Pemerintah Indonesia untuk merealisasikan target transisi energi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan.

Misalnya, program co-firing atau pencampuran bahan bakar di 52 PLTU; batubara dengan biomassa dari kayu.

Di samping itu, pemerintah juga berencana mengimplementasikan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) di setiap provinsi.

Proyek ini dijalankan karena dianggap sebagai alternatif energi hijau. Mampu mengurangi emisi dan ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil.

Namun pemanfaatan biomassa kayu akan mendorong pemerintah untuk menyediakan hutan tanaman energi (HTE). Sedangkan, pembukaan HTE akan mengancam hutan-hutan alam di negeri ini.

HTE akan mengubah hutan alam dengan ditanami dengan tanaman penghasil biomassa, seperti eukaliptus, kaliandra, gamal, lamtoro, sengon, dan akasia.

Kajian Trend Asia (2023), diperlukan lahan 2,33 juta hektar atau 35 kali luas Jakarta untuk disulap menjadi HTE hanya untuk menyuplai kebutuhan di 52 PLTU co-firing.

Sementara saat ini, baru ada 31 konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Hutan Tanaman (PBPH-HT) yang punya keseluruhan lahan 1,3 juta hektar, berkomitmen mengalokasikan 220 ribu hektar lahannya ditanami tanaman energi.

Sehingga, untuk memenuhi target 2,3 juta hektar HTE, dibutuhkan lahan seluas 2,1 juta hektar lagi, yang bukan tidak mungkin datang dari izin-izin baru.

Trend Asia turut membantah klaim netral karbon dari program co-firing, karena 52 PLTU yang membutuhkan 10,2 juta ton biomassa, diperkirakan menghasilkan net emisi 26,48 juta ton karbon dari proses produksi biomassa.

Emisi karbon dari produksi biomassa dihasilkan oleh deforestasi dari pembukaan HTE yang tidak akan terbayar dari proses penanaman tanaman energi.

Pembakarannya di PLTU juga akan menghasilkan sekitar 17,8 juta ton emisi karbon.

Sehingga klaim netral karbon digunakan oleh PLTU untuk greenwashing, seakan tampil hijau dan mendongkrak bauran energi terbarukan serta menunda pemensiunan PLTU yang harunya hanya berusia 30 tahun.

"Pemerintah Indonesia kerap kali menyampaikan komitmennya untuk melakukan transisi energi. Namun, transisi energi yang disebut-sebut pemerintah hanyalah solusi palsu," kata Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani saat berbincang dengan awak media di Banjarmasin, beberapa waktu lalu.

Dalam dokumen Rencana Operasional Indonesia’s Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 yang selaras dengan target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), untuk memenuhi target Net Sink 2030 dibutuhkan pembangunan hutan tanaman, termasuk HTE baru hingga 6 juta hektar.

Menurut Amalya, target tersebut akan dipenuhi melalui skema arahan pemanfaatan hutan produksi dan pemberian izin baru melalui persetujuan perhutanan sosial dengan luas 2 juta hektar. 

"Sisanya akan dipenuhi melalui multiusaha kehutanan, kemitraan kehutanan, dan kerja sama perhutanan sosial," katanya.

Ia mengatakan, Kalimantan Selatan merupakan provinsi dengan target pengembangan hutan tanaman baru mencapai 76.567 hektar. Namun, untuk mencapai Net Sink 2030 terdapat hutan alam seluas 397.511 hektar di Kalsel. Dari jumlah tersebut, 111.969 hektar berstatus deforestasi terencana dan 285.542 hektar berstatus tidak terencana yang perlu dimitigasi.

”Demokratis, keadilan, dan berkeadilan merupakan aspek utama dalam transisi energi, termasuk di Kalimantan Selatan. Maka, pelibatan masyarakat lokal merupakan syarat utama untuk mencapai pemenuhan energi yang demokratis,” katanya.

Di Kalimantan Selatan, sudah ada 3 perusahaan yang mendapatkan eksklusivitas untuk pembangunan HTE, yakni PBPH-HT PT Jhonlin Agro Mandiri di Tanah Bumbu, PBPH-HT PT Inhutani II Senakin di Kota Baru, dan PBPH-HT PT Inhutani III Unit Pelaihari di Tanah Laut. 

"Hutan alam yang terancam dirusak di 3 konsesi tersebut mencapai 9.319 hektare," kata Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga.

Anggi menyebut, transisi energi bisa jadi pemicu baru kerusakan sumber daya alam Indonesia. 

"Proyeksi deforestasi untuk pemenuhan biomassa mencapai 4,65 juta hektar,” katanya.

Mesti Dievaluasi

Menurut Anggi, kebijakan transisi energi yang telah dimulai sejak 2014 perlu dievaluasi. Hal itu untuk memastikan bahwa proyek-proyek transisi energi yang dijalankan selama ini betul-betul merupakan energi baru terbarukan.

”Selama ini kita selalu dicekoki konsep bahwa bioenergi itu sudah pasti energi terbarukan. Semua konsep itu harusnya diuji dalam implementasi di lapangan,” katanya.

Amalya menambahkan, proses transisi energi sejatinya tidak hanya mengubah jenis energi dan teknologi, tetapi harus bisa menjawab masalah perubahan iklim, meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil, kerusakan lingkungan, serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial bagi masyarakat di sekitarnya.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono menekankan, pemerintah harus segera melakukan review dan audit perizinan industri ekstraktif di Kalimantan Selatan, termasuk 3 perusahaan PBPH HTE, sebagai upaya untuk melindungi hutan Kalimantan Selatan yang sudah tidak mampu menampung izin baru.

"Pemerintah harusnya fokus merehabilitasi kerusakan hutan dan lahan serta mewujudkan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan, bukan malah menambah kerusakan hutan dan lahan dan mengancam keselamatan rakyat yang sudah hidup di dalam dan di luar kawasan hutan," katanya.

Aktivis AMAN Kalimantan Selatan, Baderie khawatir pemberian izin baru kepada korporasi-korporasi untuk membangun hutan tanaman energi menyebabkan mandeknya pengakuan masyarakat hukum adat di Kalimantan Selatan. 

"Padahal masyarakat adat lebih awal hidup dan berkehidupan di dalam hutan. Keberpihakan terhadap masyarakat adat menjadi penting demi mewujudkan cita-cita masyarakat adat yang berdaulat mandiri dan bermartabat.”

Editor


Komentar
Banner
Banner