Bisnis

Taksonomi Hijau, Koalisi ResponsiBank: Celah Pembiayaan Energi Fosil

OJK melakukan konsultasi publik untuk menjaring masukan dari berbagai pihak terkait penyusunan dokumen Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI).

Featured-Image
Aksi teatrikal beberapa aktivis di depan Kementerian ESDM untuk mendesak JETP agar sesuai fungsinya. (Foto: dok. Juru Kampanye 350)

bakabar.com, JAKARTA -  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan serangkaian konsultasi publik untuk menjaring masukan dari berbagai pihak terkait penyusunan dokumen Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI) V.1 2023.

Sustainable Development Officer The Prakarsa Dwi Rahayu Ningrum menilai langkah OJK membuka konsultasi publik layak diapresiasi sebagai upaya bersama dalam mendorong praktik transparansi dan akuntabilitas.

"Di balik itu semua, kami berharap dengan keterlibatan publik, OJK bisa menerima usulan-usulan dan kritik yang konstruktif terhadap dokumen tersebut," ujarnya kepada bakabar.com, Sabtu (9/12).

The Prakarsa sebagai bagian dari koalisi ResponsiBank bekerja dalam advokasi sektor keuangan berkelanjutan. ResponsiBank telah membuat satu dokumen kajian terhadap draft dokumen TBI. Koalisi menilai dokumen TBI tidak bisa disebut pengkinian dari Taksonomi Hijau Indonesia (THI).

Baca Juga: Kriteria Taksonomi Diubah, OJK Main Aman?

"Koalisi menilai OJK perlu memperjelas bagaimana kedudukan/status THI dan TBI, implementasi THI dan TBI, juga sejauh mana masing-masing dokumen itu mengatur pembiayaan pada sektor yang telah ditentukan," kata Dwi Rahayu.

Draft TBI, menurut Dwi Rahayu memuat sektor energi dan pertambangan, menunjukan upaya OJK untuk memberikan label secepatnya pada sektor energi dan pertambangan, mengejar pendanaan iklim terhadap sektor tersebut.

Selain itu, koalisi ResponsiBank menyampaikan apresiasi dengan integrasi aspek sosial dalam dokumen taksonomi berkelanjutan. Ini menunjukkan komitmen OJK memperhatikan dan mempertimbangkan bagaimana perusahaan menghormati hak asasi manusia, ketenagakerjaan dan masyarakat terdampak kegiatan investasi.

“Integrasi aspek sosial dalam taksonomi sudah tepat dilakukan, hanya di dalamnya juga perlu lebih detail mengatur bagaimana perusahaan melakukan uji tuntas HAM, memastikan keadilan gender dan masyarakat rentan, memastikan transisi berkeadilan, serta grievance mechanism yang transparan untuk mengakomodir kelompok rentan ini," terangnya.

Baca Juga: Sektor Perbankan, OJK: Tetap Resilien Ditopang Permodalan

Sementara itu, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA Linda Rosalina menyampaikan perbedaan yang secara signifikan dapat dilihat dalam 3 kategori Hijau, Kuning dan Merah pada THI kemudian menjadi 2 kategori Hijau dan Transisi pada TBI.

Transisi memberi kesan bahwa selain kategori ‘Hijau’ selalu ada intensi perbaikan, padahal kenyataannya tidaklah demikian. “Kajian Tuk Indonesia menunjukkan bahwa implementasi penyelarasan pembiayaan bank dengan taksonomi hijau v1 masih banyak dengan kategori kuning dan merah," tegasnya.

Linda menambahkan, "Pada TBI ini, terdapat bahaya greenwashing ketika semua yang belum ‘Hijau’ dinyatakan sebagai ‘Transisi’. Kriteria non eligible perlu tetap dimunculkan agar TBI ini menjadi kredibel."

Sebagai sebuah capaian, secara regional telah hadir dokumen ASEAN Taxonomy, dimana Indonesia tampil sebagai leader dalam implementasi THI. Dengan demikian, seharusnya TBI merujuk pada dokumen tersebut.

Baca Juga: OJK Khawatirkan Kasus Korupsi Pengaruhi Integritas Industri Jasa Keuangan

Oleh karena itu, Linda mengingatkan, pentingnya memberikan konteks bagi Indonesia untuk mewujudkannya, dan bukan menjadikan taksonomi keuangan berkelanjutan yang berbeda sama sekali.

"Alasannya Indonesia adalah negara dengan ancaman krisis iklim yang tertinggi di Kawasan Asia Tenggara, maka yang logis adalah TBI yang lebih ketat dan lebih ambisius dibandingkan dengan ASEAN Taxonomy," papar Linda.

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH Agung Budiono menilai TBI masih terlalu longgar dengan menjadikan sumber energi dari bahan bakar fosil seperti Gas dan juga PLTU (captive) yang terintegrasi dengan industri. 

“Meskipun dikategorisasi sebagai 'Transisi' dari awalnya 'Hijau', namun captive power plant tidak menjadi hal positif, karena menunjukan langkah abu-abu OJK dalam penyusunan TBI. Pengalaman di banyak negara, PLTU captive sudah dikeluarkan dari dokumen taksonomi,” tegasnya.

Baca Juga: Indonesia Mengobral Hutan IKN di KTT ASEAN

Selain itu, kata Agung, OJK perlu menyusun early coal phase-out framework menjadi bagian dari taksonomi berkelanjutan. Kendati telah disebut dalam tujuan lingkungannya bahwa PLTU yang akan yang masuk early coal phase-out harus memiliki rencana just transition namun perlu didetilkan konsep dan kerangka kerja implementasinya.

Senada, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting menyoroti masuknya beberapa aktivitas pertambangan dan penggalian, terutama mineral kritis, ke dalam kategori ‘hijau’.

Aktivitas pertambangan dan penggalian, kata Pius, dapat dikategorikan ‘hijau’ ketika hasil tambangnya dapat menjadi bahan baku produk ‘hijau’ atau pendukung upaya transisi.

“Aktivitas pertambangan dan penggalian pasir kuarsa dan nikel, misalnya, masih dapat dikategorikan sebagai aktivitas ‘hijau’ jika terbukti mampu menyuplai bahan baku untuk produk hijau," paparnya.

Baca Juga: Jokowi Ajak ASEAN Kembangkan Ekosistem Kendaraan Listrik

Hanya saja, secara umum aktivitas pertambangan memiliki dampak negatif bagi lingkungan. "Sehingga menimbulkan kontradiksi dalam pemenuhan EO (Environmental Objectives) yang disebutkan dalam TBI," ungkap Pius.

Selain itu, ia juga menyinggung aktivitas pertambangan/penggalian yang masih masuk kategori ‘transisi’ walaupun memiliki jejak emisi karbon yang intensif, misalnya pertambangan lignit.

“Aktivitas pertambangan lignit seharusnya tidak masuk dalam kategori ‘transisi’. Lignit adalah jenis atau rank batu bara paling intensif karbon – mencapai 101,2 tCO2/TJ.”  tandasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner