bakabar.com, JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir, mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Penyebabnya perhitungan kerugian negara tak dapat dilakukan ahli lingkungan. Selanjutnya hasil perhitungan dapat dijadikan rujukan di persidangan, setelah perkara bergulir di pengadilan.
"Harus yang punya kompetensi menghitung kerugian negara, kalau terjadi kasus lingkungan hidup,” kata Mudzakir kepada bakabar.com, Jumat (6/10).
Kendati demikian, BPK juga dapat bekerja sama dengan para ahli lingkungan agar menyelaraskan kerugian negara akibat karhutla.
Di sisi lain, Mudzakir menilai bahwa ahli lingkungan cenderung membengkakkan hitungan kerugian lingkungan, karena menghitung berdasarkan potential loss lingkungan hidup di masa datang.
“Seharusnya the real loss atau factual loss. Misalnya kalau tanaman, kerugian dihitung berdasarkan hektare,” tandas Mudzakir.
Sebelumnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi izin konsesi belasan perusahaan yang menjadi penyebab karhutl.
“Ketika terjadi perulangan, sebenarnya bisa menjadi indikator bahwa mereka (perusahaan) tidak tertib kepada aturan pengelolaan lahan,” papar Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian, Rabu (4/10).
Pemerintah juga semestinya mengevaluasi izin perusahaan pemilik konsesi lahan gambut yang memiliki rapor merah dalam medio 2015 hingga 2023.
"Pun proses evaluasi izin konsesi juga perlu menempatkan indikator lingkungan hidup atau melihat fungsi sebuah wilayah sebagai pertimbangan utama," pungkas Uli Arta.