apahabar, JAKARTA - Belakangan istilah Justice Collaborator kerap bermunculan sejak mencuatnya kasus Ferdi Sambo. Terutama saat nama Bharada E muncul sebagai salah satu tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua tiga bulan lalu.
Justice Collaborator (JC) adalah pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkapkan kasus tindak pidana tertentu yang terorganisir dan menimbulkan ancaman serius.
Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan, jika dalam JC bisa diajukan dalam tiga kondisi, yakni pada proses penyidikan, persidangan dan setelah menjadi terdakwa.
"JC bisa diajukan dalam tiga tahap, pada proses penyidikan, persidangan dan setelah terdakwa menjadi pidana, secara tertulis LPSK bisa mengajukan pada Menteri Hukum dan HAM untuk menerima remisi," tuturnya pada apahabar, Rabu (7/12).
Baca Juga: Panggil Bharada E ke Rumah Dinas, Ferdy Sambo: Brigadir Yoshua Harus Mati!
Menurutnya dengan begitu JC bisa berfungsi sebagaimana mestinya, yakni mengungkap kebenaran. "Jadi kesaksian tersebut bisa benar-benar mengungkapkan kebenaran," imbuh Ketut Sumendana.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 04 tahun 2011, syarat menjadi JC tidaklah mudah, setidaknya harus ada lima poin yang terpenuhi.
Lima Poin syarat justice Collborator tindak pidana yang diungkapkan harus merupakan tindak pidana serius atau teroganisir, kolaborator harus memberi keterangan signifikan, relevan dan andal, bukan pelaku utama, kesediaan mengembalikan sejumlah aset yang didapat dari tindak pidana yang dilakukan, juga terdapat ancaman nyata.
Syarat ini diharapkan mampu menjamin validasi keterangan demi mengungkap kebenaran. Berdasarkan catatan Kejaksaan, jumlah orang yang sudah menjadi JC sampai November 2021 setidaknya ada 17 ribu lebih.