Pemilu 2024

Waduh! Ternyata Politik Dinasti Tumbuh Subur di Negara Demokrasi

Akademisi ilmu politik, Yoes Kenawas mengungkapkan politik dinasti tumbuh subur di negara yang menganut demokrasi. Meski begitu, negara yang cenderung

Featured-Image
Presiden Joko Widodo bersama Gibran Rakabuming Raka. Foto: Antara

bakabar.com, JAKARTA - Akademisi ilmu politik, Yoes Kenawas mengungkapkan politik dinasti yang selama ini ramai diperbincangkan justru tumbuh subur di negara yang menganut demokrasi. Meski begitu, negara yang cenderung otoritarian juga tetap berpotensi melahirkan politik dinasti secara terbatas.

"Politik dinasti adalah sebuah bentuk pengorganisasin kekuasaan yang melibatkan individu yang memiliki hubungan kekerabatan, baik melalui perkawinan atau darah untuk merebut posisi kekuasaan," katanya, Sabtu (16/12).

Yoes menjabarkan sederet negara berkembang penganut sistem demokrasi yang mengalami politik dinasti seperti Indonesia, Filipina, India dan Thailand.

Baca Juga: Kaesang Persilahkan Ade Armando Keluar PSI Imbas Ucapan Politik Dinasti

Sedangkan negara maju penganut sistem demokrasi yang juga mengalami politik dinasti di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Inggris, dan Norwegia.

"Politik dinasti membutuhkan demokrasi," kata Yoes yang juga masih menempuh studi doktoral di Northwestern University, Amerika Serikat.

Adapun negara otoritarian juga memunculkan politik dinasti meski tidak sedominan negara demokrasi. Karakteristik politik dinasti di negara otoritarian lebih cenderung pada level presiden dan perdana menteri.

Korea Utara misalnya, melahirkan figur Kim Jong Un yang meneruskan kepemimpinan ayahnya Kim Jong-il dan kakeknya Kim II Sung. Disusul Syria dengan Al-Asad dan Mesir dengan Hosni Mubarak

"Dinasti muncul pada level tertinggi, tapi tidak di level bawah," katanya.

Baca Juga: PSI Pertimbangkan Sanksi Ade Armando Usai Bicara Politik Dinasti

Politik dinasti di Indonesia, kata Yoes, justru muncul hingga ke level paling rendah yakni pemilihan kepala desa. Sedangkan di negara maju demokrasi lainnya, keberadaan politik dinasti hanya terbatas sampai pada level wilayah setara kabupaten atau kota.

Berdasarkan data yang dihimpun Yoes, dalam satu siklus pilkada terdapat pertumbuhan politik dinasti sebanyak tiga kali lipat.

Pada 2010 misalnya, terdapat sebanyak 16 pemenang kontestasi pilkada. Pada 2015 terdapat 57 pemenang kontestasi pilkada yang masih memiliki keterkaitan dengan pemenang pilkada sebelumnya.

Baca Juga: Aktivis HAM: Politik Dinasti Persis Korut, Produknya Kim Jong Un

Sedangkan pada 2011, terdapat 12 pemenang kontestasi pilkada. Pada 2017 terdapat 25 pemenang kontestasi pilkada yang masih memiliki keterkaitan dengan pemenang pilkada sebelumnya.

Terakhir, dapat pilkada 2013 yang melahirkan 12 pemenang kontestasi pilkada. Namun, pada 2018 terdapat 55 pemenang kontestasi pilkada yang masih memiliki keterkaitan dengan pemenang pilkada sebelumnya.

"Bupati sudah menjabat dua periode kemudian memajukan istri, anak, dan keponakan, dan besan makanya jumlahnya tidak heran meningkatkan 3 kali lipat," katanya.

Baca Juga: Kekuatan Oligarki Setir Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Baca Juga: Langkah Abu-abu 3 Capres soal Penyelesaian Pelanggaran HAM di Papua

Politik dinasti, kata Yoes, tidak bisa dilepaskan dari kultur patrimonial di tengah masyarakat Indonesia.

Kondisi tersebut yang kemudian melahirkan politik dinasti pada level subnasional seperti keluarga Limpo di Sulawesi Selatan, keluarga Syafaat di Kota Cilegon, keluarga Sutrino di Kota Kediri, hingga keluarga Joko Widodo.

Bahkan, yang pernah paling menyita perhatian politik dinasti mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Choisiyah yang berperan menempatkan sederet keluarganya mulai dari anak, adik tiri, ibu tiri, adik, adik ipar, dan keponakan menjadi pejabat kepala daerah di sejumlah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten.

Editor
Komentar
Banner
Banner