bakabar.com, JAKARTA - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta para calon presiden (Capres) yang akan berlaga di Pemilu 2024 memikirkan cara-cara progresif untuk menurunkan beban utang negara. Misalnya dengan mengusulkan pembatalan utang, pokok utang, dan bunga utang.
"Karena sebagian pinjaman itu bisa dikurangi, digantikan dengan misalkan program-program yang bisa menurunkan emisi karbon. Atau program-program lingkungan," kata Bhima kepada bakabar.com, Selasa (30/5).
Selanjutnya, ia mengingatkan bahwa pada KTT G20 lalu diputuskan tentang skema fasilitas penundaan pembayaran utang, meskipun sifatnya hanya temporer.
"Tetapi hal itu memang diharapkan bisa memberikan ruang bagi presiden yang terpilih nanti untuk mengatur ulang kembali beban-beban hutangnya," jelasnya.
Baca Juga: Utang Indonesia Capai 1000 T per Tahun, Celios: Digunakan untuk Apa?
Untuk itu, Bhima mengusulkan agar presiden terpilih harus berani dan tegas dalam memangkas belanja-belanja yang sifatnya pemborosan. Belanja-belanja yang tidak berkorelasi dengan kenaikan daya saing.
"Misalnya kenaikan belanja pegawai. Ini sudah minta gaji menteri naik, sudah minta gaji PNS naik, harusnya belanja pegawai itu dikurangi, karena itu salah satu kontributor yang membuat menyempitnya ruang fiskal. Kemudian belanja barang juga dikurangi," usulnya.
Adapun dari segi pajak, Bhima mengingatkan jika kemampuan membayar utang diharapkan membaik, maka kemampuan menghasilkan penerimaan pajak harus terus didorong dan dioptimalkan.
"Minimum rasio pajak kita bisa diatas 12%, itu idealnya ya," imbuh Bima.
Baca Juga: Bayar Utang Rp 1000 Triliun/Tahun, CELIOS: Struktur Utang Indonesia 88% Surat Berharga
Selanjutnya, Bhima menegaskan jika pembayaran utang jangan dilihat dari sisi mata uang rupiah semata yang jumlahnya mungkin sangat besar. Menurutnya, penting untuk memperhatikan tentang komposisi surat utang pemerintah yang dimiliki investor asing.
"Nah ini yang harus dikurangi, jadi bukan hanya dalam bentuknya, tetapi dari siapa kreditor yang membeli surat hutang pemerintah. Ini harus dikurangi kreditor yang sifatnya asing, karena itu bisa membuat cepat transmisi risiko."
Pada kondisi tertentu, investor asingnya bisa dengan cepat melenggang keluar, yang berdampak pada pelemahan rupiah. "Akibatnya pemerintah menaikan suku bunga lebih tinggi agar mereka (investor) tetap membeli surat hutang pemerintah," jelasnya.
Baca Juga: [CEK FAKTA] Pemerintahan Jokowi Bayar Utang Rp 1.000 Triliun
Menurut Bhima, pola-pola yang terjadi saat ini ibarat lingkaran setan yang harus diputus. Sebagai gantinya, kedepan, sudah tidak boleh lagi utang digunakan untuk membiayai pembangunan.
"Tapi menggunakan pajak untuk pembangunan, itu yang benar. Menggunakan kerja sama swasta untuk pembangunan. Jadi bukan dengan utang." tandasnya.