bakabar.com, JAKARTA - Beberapa waktu lalu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo harus membayar utang sebanyak Rp1.000 triliun setiap tahunnya. Utang tersebut dianggap sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah. Jumlahnya juga sama.
Menanggapi itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan setiap tahunnya, pemerintah telah merencanakan kewajiban membayar utang berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian, pembayaran utang pemerintah sampai saat masih terjaga dengan baik dan dilakukan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan.
Menyikapi polemik utang tersebut, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan apa yang disampaikan oleh Jusuf Kala sangat masuk akal.
"Karena beban bunga hutang saja sudah cukup besar, 440 triliun setiap tahunnya. Dan tahun depan pada saat pemilu, beban bunga utang yang harus dibayar bisa menembus angka 500 triliun," ujar Bhima kepada bakabar.com, Selasa (30/5).
Baca Juga: Belum Tercapainya Kesepakatan Pagu Utang AS, IHSG Menguat
Hal itu, menurut Bhima akan menghabiskan banyak sekali pendapatan negara. Terutama penerimaan pajak akan tersedot sebagian untuk kegiatan membayar hutang dan bunganya.
"Nah ditengah kenaikan suku bunga, tentu ini akan menjadi beban berat. Suku bunga naik, kemudian infasi global juga masih tinggi, ini akan menjadi tekanan, karena pemerintah harus menaikkan bunga sangat tinggi untuk menarik agar investor mau atau kreditor mau membeli surat utang," ujar Bhima.
Menurut Bhima, jika dilihat dari postur hutang, penyebab hutang tersebut menjadi membengkak lantaran 88% strukturnya dalam bentuk surat berharga negara (SBN).
"Bunganya relatif tinggi, sekitar 6 sampai 7%. Dan Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat suku bunga yang tertinggi di negara Asia Tenggara. Bahkan lebih tinggi daripada Filipina," jelasnya.
Baca Juga: [CEK FAKTA] Pemerintahan Jokowi Bayar Utang Rp 1.000 Triliun
Masalah utang berisiko memicu krisis sistemik global paska pandemi. Ketika Indonesia memiliki porsi utang sebesar 88% dalam bentuknya SBN, itu artinya tergantung pada bunga pasar.
Selanjutnya, tren inflasi dan kenaikan suku bunga akan membuat beban bunga utang naik signifikan sementara upaya untuk melakukan pengurangan beban utang menjadi sulit.
“Di tahun 2023 saja tren bunga utang mencapai Rp441 triliun atau setara 21,8% target penerimaan perpajakan ditahun yang sama. Beban utang ini sudah kelewat berat,” tegas Bhima.
Dengan kondisi tersebut, kata Bhima, Indonesia bisa manfaatkan fasilitas debt swap (pertukaran utang dengan program) dan debt suspenssion (penangguhan bunga utang) meskipun hanya bisa berfungsi dengan kreditur non SBN.
Baca Juga: Utang Pemerintah Baru Capai Rp243 Triliun Hingga April 2023
Selanjutnya, manajemen risiko fiskal juga menjadi rumit karena beberapa proyek yang sebelumnya murni pengerjaan BUMN mulai dibebankan ke APBN baik melalui PMN maupun penjaminan salah satunya kereta cepat.
“Pemerintah harus cari jalan keluar dengan turunkan ambisi berutang demi mega proyek yang secara ekonomis tidak layak. Selain itu porsi SBN dari total utang pemerintah sebaiknya dikurangi dengan peningkatan rasio pajak dan pengendalian belanja,” tandasnya.