bakabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kondisi inflasi hijau atau greenflation masih jauh terjadi di Indonesia.
Sementara itu, sebelumnya Gibran justru membandingkan dengan demo rompi kuning yang yang terjadi di Prancis. Demo yang disebabkan karena bauran energi baru dan terbarukan di negara tersebut mencapai 88 persen lebih.
"Tidak apple to apple dengan situasi di indonesia," katanya kepada bakabar.com (25/1).
Baca Juga: CSIS: Gibran Sok Tahu soal Greenflation
Baca Juga: Gibran ke PT Sritex Beber Greenflation
Indonesia masih terlalu dini untuk bicara greenflation di Indonesia. Sejauh ini bauran energi terbarukan juga masih sangat kecil. Sebab, pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat dalam penutupan PLTU batubara dan dorongan ke energi baru terbarukan (EBT).
"Greenflation itu baru terjadi puluhan tahun ke depan untuk konteks indonesia," kata dia.
Sementara yang justru mengalami kenaikan inflasi adalah energi fosil yang harganya fluktuatif atau fossiflation. Sementara Indonesia impor migasnya besar sekali.
"Harusnya perhatian Gibran ke fossiflation bukan pada greenflation," terang dia kepada bakabar.com.
Baca Juga: Mahfud Sebut Istilah Greenflation Gibran Receh dan Hanya Gimik
Di samping itu, kata Bhima, persoalan kenaikan harga BBM karena pengurangan subsidi dari pemerintah juga bukan disebabkan oleh greenflation.
Menurutnya ini semata karena uang subsidi BBM yang dikurangi beralih ke proyek infrastruktur yang tidak ada kaitannya dengan transisi energi.
Andai pun nantinya terjadi tekanan pada biaya transisi energi dalam jangka panjang. Menurutnya solusi yang tepat adalah mencabut subsidi dan insentif energi fosil kemudian digeser ke energi baru terbarukan (EBT).
"Cara itu akan efektif untuk mitigasi greenflation," tandas dia.