Transisi Energi

Transisi Energi Terancam Melambat, Celios Desak Lembaga Keuangan Hentikan Pembiayaan PLTU

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pembiayaan pembangunan PLTU batubara potensi mengancam percepatan transisi energi

Featured-Image
Ilustrasi PLTU. Foto-net

bakabar.com, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pembiayaan pembangunan PLTU batubara potensi mengancam percepatan transisi energi bersih yang ditargetkan pada 2050.

Bhima mendorong pada lembaga keuangan agar berhenti membiayai energi kotor batu-bara sejalan dengan komitmen nasional dalam melakukan transisi ke energi yang bersih dan berkeadilan.

“Pembangunan PLTU captive baru berlawanan dengan asas skema JETP yang tujuannya memensiunkan PLTU batu-bara dini," jelasnya di Jakarta, Jumat (14/4).

Baca Juga: Wujudkan Transisi Energi, Menteri ESDM Ungkap Tantangan Terbesarnya

Bhima menambahkan pembangunan PLTU baru juga dinilai tidak hanya akan merugikan pemilik proyek, tapi juga investor termasuk kreditur dan pemegang obligasi.

"Seluruh aset PLTU batu-bara memiliki risiko finansial seperti kehilangan nilai atau stranded asset dalam jangka pendek, biaya pinjaman modal yang relatif mahal dibanding industri lainnya, hingga stabilitas harga pembelian batubara yang fluktuatif," jelasnya.

Jika dipaksakan, kata Bhima, potensi kerugian yang tinggi akan menurunkan minat deposan bank dan investor. Deposan akan memindahkan dana ke bank yang lebih menjauhi proyek berisiko PLTU batu-bara.

"Saat ini, Adaro dilaporkan sedang kesulitan menggalang dana untuk proyek Kaltara-nya dan telah kehilangan beberapa pendananya – seperti Standard Chartered, DBS, dan OCBC – karena rencana pembangunan PLTU captive baru ini," ungkapnya.

Baca Juga: Transisi Energi, Erick Thohir: Harus Sesuai dengan Cetak Biru RI

Bagi banyak bank dengan target iklim, mendanai PLTU baru berisiko menggagalkan target iklim dan kalkulasi Scope 3 bank tersebut.

Asal tahu saja, scope 3 adalah hitungan emisi gas rumah kaca dari pembiayaan. Salah satunya Bank HSBC, yang sudah menyatakan larangan kebijakan bank-nya untuk mendanai PLTU captive.

Terkait hal itu, tren coal phase-out global saat ini memang menunjukan kalau pembiayaan ke bisnis batu-bara berisiko tinggi secara finansial.

“Larangan bank global untuk mendanai PLTU batu-bara tidak mengecualikan PLTU batu-bara captive. Segala bentuk aset batu-bara apapun akan mempengaruhi kalkulasi emisi gas rumah kaca scope 3 dan mempengaruhi target iklim bank tersebut,” lanjutnya.

Baca Juga: Transisi Energi yang Berkeadilan Tidak Hanya Menurunkan Emisi Karbon

Bhima menambahkan, bank-bank memiliki persepsi yang tidak tepat jika masih beranggapan aset batu-bara masih menguntungkan.

Booming harga batu-bara sudah hampir selesai tahun ini, bisnis batu-bara diproyeksi makin memberikan imbal hasil yang rendah.

“Bank perlu lebih rasional dalam melanjutkan portofolio pembiayaan ke bisnis yang berkaitan dengan rantai pasok batu-bara,” pungkasnya.

Tiga Bank Pendukung Pembiayaan PLTU Adaro

Ilustrasi tantangan transisi energi. (Foto: Kompas.id)
Ilustrasi tantangan transisi energi. (Foto: Kompas.id)

Sementara itu, Juru Kampanye keuangan energi Asia, market forces, Binbin Mariana mengeklaim PLTU batu-bara tersebut diestimasi dapat menghasilkan emisi sebesar 5.2 juta ton CO2 ekuivalen per-tahunnya.

Rencana PLTU captive ini dinilai tidak hanya berlawanan dengan tujuan JETP. Sebab, memperlambat laju kenaikan temperatur bumi dan mencapai net zero di tahun 2050. Maka seharusnya sudah tidak ada lagi PLTU batu-bara baru maupun ekspansi tambang batu-bara dimanapun.

“Bank-bank seperti Mandiri, CIMB atau UOB yang masih membiayai Adaro tidak memperhitungkan risiko finansial dan krisis iklim yang terjadi sebagai dampak dari pembiayaan ke batu-bara," ungkapnya.

Baca Juga: OJK Percepat Transisi Energi untuk Pertumbuhan Ekonomi Kawasan

Lebih lanjut, kata Binbin, padahal bank sebagai lembaga intermediasi yang bertanggung jawab harusnya mengukur risiko-risiko ini dengan baik,” pungkasnya.

Sebagai pengingat, proyek pembangunan PLTU captive baru milik Adaro ini juga mendapatkan penolakan dari para fans musik KPOP yang peduli isu lingkungan. Yakni, KPOP4PLANET, terhadap Hyundai Motor pasca ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) pembelian produksi aluminium dari Adaro pada November 2022 lalu.

Kemitraan antara Hyundai dan Adaro tersebut ditolak karena kontradiksi antara komitmen Hyundai dalam memproduksi mobil berbahan aluminium “ramah lingkungan".

Baca Juga: Swasta Lirik Pembiayaan Transisi Energi, Menkeu: Mereka Tertarik

Meskipun diketahui aluminium tersebut akan diproduksi menggunakan PLTU batu bara yang tidak sejalan dengan komitmen transisi energi global.

Atas dasar itu, para ribuan fan KPOP meminta Hyundai mundur dari kemitraan dengan Adaro, apabila aluminium Adaro masih menggunakan energi dari PLTU batu-bara.

Editor
Komentar
Banner
Banner