bakabar.com, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan tantangan terbesar untuk mewujudkan implementasi nyata transisi energi di Indonesia.
Arifin dikutip dari keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (12/4), menjelaskan penetapan strategi, program, dan target menuju transisi energi adalah hal yang lebih mudah. Tantangan terbesarnya ialah implementasi nyata menuju transisi energi dan memastikan keterjangkauan energi oleh masyarakat.
"Bagian paling sulit adalah implementasi konkret menuju transisi energi, memastikan keterjangkauan energi oleh rakyat, aksesibilitas dan dekarbonisasi yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat," ucap Arifin.
Sektor migas
Untuk memastikan aksesibilitas keterjangkauan energi bagi masyarakat, peran dari sektor migas tidak bisa diabaikan dan ditinggalkan begitu saja.
Baca Juga: Transisi Energi, Erick Thohir: Harus Sesuai dengan Cetak Biru RI
Sektor migas masih memegang peranan penting untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi utamanya di negara berkembang seperti Indonesia.
Arifin menyampaikan permintaan migas masih akan tumbuh, terutama di daerah berkembang seperti India, Afrika, dan Asia di mana pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, industrialisasi, dan kendaraan akan melonjak secara signifikan.
"Oleh karena itu, investasi dalam proyek migas masih diperlukan untuk memberikan ketahanan energi serta memenuhi permintaan migas yang semakin meningkat, sebelum teknologi energi terbarukan menjadi lebih kompetitif," kata dia.
Lebih lanjut, ia juga menilai bahwa peran minyak dan gas bumi (migas) tetap krusial dalam transisi energi.
Baca Juga: Transisi Energi yang Berkeadilan Tidak Hanya Menurunkan Emisi Karbon
Menurutnya, permintaan minyak masih tumbuh terutama di sektor transportasi dan pengembangan sektor gas juga penting dalam menjembatani transisi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Program strategis
Adapun, transisi energi akan dilakukan dalam berbagai tahap dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan, dan keberlanjutan.
Dalam proses transisi, pemerintah akan melaksanakan beberapa program strategis, di antaranya memperluas penggunaan gas sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk industri dengan mengembangkan infrastruktur transmisi dan distribusi gas yang terintegrasi.
Selain itu, konversi bahan bakar diesel menjadi gas di pembangkit listrik dan mengembangkan fasilitas infrastruktur dan pengembangan jaringan pipa gas untuk rumah tangga (jargas) dan usaha kecil.
Baca Juga: OJK Percepat Transisi Energi untuk Pertumbuhan Ekonomi Kawasan
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan bahwa potensi hulu migas Indonesia masih sangat besar, pemerintah menargetkan produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 BSCFD pada 2030 yang ditujukan khusus untuk pemanfaatan dalam negeri.
"Kami memiliki 68 potensi cekungan yang belum dijelajahi dan cadangan terbukti minyak sebesar 2,4 miliar barel, sedangkan cadangan terbukti gas sekitar 43 TCF," kata Arifin.
Berdasarkan laporan ReforMiner Institute, pemerintah berkomitmen mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang, salah satu regulasi yang teridentifikasi merupakan bagian dari kebijakan NZE adalah Keputusan Menteri (Kepmen) LHK No.168/Menlhk/PTKL/PLA.1/2/2022.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai peta jalan NZE Indonesia sebagaimana tertuang dalam Kepmen LHK telah cukup berimbang.
Baca Juga: Swasta Lirik Pembiayaan Transisi Energi, Menkeu: Mereka Tertarik
Adapun penetapan target waktu dan sektor-sektor mana saja yang digunakan sebagai instrumen dalam mencapai target menggambarkan bahwa pemerintah telah mempertimbangkan aspek. Terutama menyeimbangkan aspek ekonomi dan keberlanjutan pasokan energi di dalam upaya mencapai NZE.
"Dalam mencapai target NZE di sektor energi, Pertamina kemungkinan akan menjadi salah satu pihak yang berperan penting. Berdasarkan informasi yang ada, hingga tahun 2060 Pertamina menargetkan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 81,4 juta ton CO2e," kata dia berdasarkan laporan tersebut.