Transisi Energi

Transisi Energi, DPR Dukung Pembiayaan Campuran dan Targetkan EBT 15 persen 2023

Mercy Chriesty Barends menjelaskan pihaknya mendukung implementasi pembiayaan campuran guna mempercepat transisi energi bersih.

Featured-Image
Para pembicara dalam Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2023 yang diadakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Sabtu (24/6/2023). Foto: ANTARA

bakabar.com, JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR sekaligus Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR Mercy Chriesty Barends menjelaskan pihaknya mendukung implementasi pembiayaan campuran (blended finance) yang diatur Kementerian Keuangan guna mempercepat transisi energi bersih.

"Sinyal yang paling kuat dikeluarkan oleh Kemenkeu, yang kita dukung adalah percepatan implementasi energy transition mechanism lewat blended finance," katanya saat menjadi pembicara dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2023 yang diadakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Sabtu (24/6).

Blended finance merupakan skema pembiayaan dengan mengombinasikan beberapa sumber seperti anggaran pemerintah, swasta, dan donor. Mercy menilai blended finance yang diatur Kemenkeu merupakan salah satu cara yang efisien untuk mempercepat transisi energi Indonesia, tanpa harus bertumpu pada APBN.

Saat ini, pemerintah mempunyai tiga platform blended finance yang tengah berjalan. Pertama, SDG Indonesia One, yang mana merupakan platform keuangan campuran yang dikelola PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) guna membiayai SDGs dari berbagai sumber, seperti donor internasional, lembaga keuangan iklim, investor hijau, bank umum, serta bank pembangunan multilateral (MDB).

Baca Juga: Belajar Transisi Energi dan Perubahan Iklim, IESR Luncurkan akademi.transisienergi.id

Kedua, melalui public private partnership (PPP), yang merupakan pengaturan antara pendanaan publik dan swasta untuk pembiayaan proyek infrastruktur tertentu. Ketiga, sukuk atau green bonds, merupakan instrumen pembiayaan inovatif untuk mendukung kebijakan fiskal ekspansif dan infrastruktur hijau di Indonesia.

Lebih lanjut, untuk mempercepat proses transisi energi, Mercy mengungkap bahwa pihaknya saat ini tengah menunggu Kementerian ESDM dan PT PLN (Persero) mengeluarkan Peta Jalan (Roadmap) Transisi Energi Tahun 2045, 2050, dan 2060 untuk memperjelas perkiraan anggaran. Ia memproyeksi anggaran yang diperlukan hampir mencapai Rp4 ribu triliun.

"Anggarannya super besar, hampir Rp4 ribu triliun. Jadi, kalau kita bagi sampai dengan 2030, dibagi, sekitar Rp300-Rp400 triliun untuk bisa menyelesaikan persoalan ini," ujarnya.

Targetkan bauran EBT 15 persen 2023
Mercy Chriesty Barends juga mengungkapkan, pihaknya targetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapai 15 persen tahun 2023 ini.

Baca Juga: Gunakan 'Blended Finance', Kemenkeu: untuk Mendorong Transisi Energi

“Tahun ini kita berupaya mencapai angka 15 persen, saat ini sudah sekitar 14,5 - 14,7 persen. Harapan kita akhir tahun ini beberapa scale up energi terbarukan bisa mencapai antara 15 - 17 persen,” katanya.

Menurut Mercy masih ada selisih kurang lebih 6 - 8 persen dari target bauran EBT pada 2025 yang sebesar 23 persen. Saat ini masih banyak tantangan untuk mencapai target tersebut.

Hal itu dilihat dari persentase penggunaan energi campuran yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang saat ini masih tercatat di angka 62 persen.

“Jadi ini ada problem besar dari mix energy yang sementara kita hadapi saat ini, 62 persen itu berasal dari PLTU batu bara, kalau di totally ditambah dengan yang berbasis diesel dan yang lain-lain, total semuanya kurang lebih sekitar 85 persen,” ujarnya.

Baca Juga: Lembaga Audit, Kemenko Ekonomi: Berperan Penting Dorong Transisi Energi

Meskipun dengan banyaknya tantangan tersebut, pemerintah tetap optimistis mampu mencapai target bauran EBT 23 persen pada 2025. Menurutnya, dalam waktu dekat, hal utama yang perlu lakukan adalah pembenahan regulasi energi melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). RUU EBT ditargetkan sudah sah pada tahun 2024 mendatang.

“Bahwa transisi energi tidak hanya menjadi wacana dan gerakan sosial tanpa payung legal standing-nya, jadi harapan kami sebelum 2024 nanti, RUU ini sudah bisa kita sahkan,” terangnya.

Saat ini sebagian besar produksi energi listrik masih menggunakan batu bara yang menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Oleh karena itu, penggunaan EBT menjadi solusi untuk mencegah efek terburuk dari adanya kenaikan suhu.

Editor
Komentar
Banner
Banner