bakabar.com, TEMANGGUNG - Saat generasi muda dan masyarakat di kota sibuk mencari hiburan dengan memutar lagu modern dan berselancar di sosial media, Supriwanto dan keluarganya memilih jalan berbeda, menjaga kelestarian Jaran Kepang.
Lantunan tembang dolanan bocah terdengar merdu saat memasuki pelataran rumah di kaki Gunung Sindoro tepatnya di Jalan, Kembang, Gejagan, Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
"Jaranan-jaranan jarane jaran teji, sing nunggang ndara bei, sing ngiring para mantri, jek jek nong jekjek gung srek srek turut lurung" liriknya terdengar jelas, menyambut anak-anak yang siang itu baru pulang dari sekolah.
Supriwanto dan keluarganya memilih menjadi pengrajin jaran kepang dan pelestari budaya adalah profesi yang dipilihnya. Jaran Kepang adalah salah satu kesenian yang menjadi ciri khas di Kabupaten Temanggung.
Rumah sekaligius bengkel seni yang berada di lereng Gunung Sindoro itu menjadi saksi lahirnya karya-karya Supriwanto dan usahanya melestarikan budaya sejak usianya masih belia.
Baca Juga: Menyeruput Sensasi Kopi Walik Khas Temanggung
Supriwanto menamai rumahnya Kandang Jaran. Kata kandang dalam bahasa jawa artinya tempat tinggal untuk hewan, sedangkan jaran artinya kuda.
Setiap hari, Supriwanto dibantu sang istri, Ayu dan 3 rekannya membuat jaran kepang secara manual.
Sosok yang juga akrab disapa dengan Guspry itu sudah menggeluti profesi ini sejak 1970-an.
Ia mendapat ilmu membuat jaran kepang dari sang kakek yang sudah terlebih dulu menjadi pembuat jaran kepang dan terkenal di daerah Temanggung sejak 1930 an.
Meski di daerah lain juga terdapat kesenian serupa, jaran kepang Temanggungan yang diproduksi Supriwanto memiliki ciri khusus.
Adapun ciri khususnya yakni bentuknya kecil namun pilinan bambunya kencang dan ringan, sehingga saat digunakan untuk menari tidak mudah bergoyang.
Selain itu, motif yang digambar pada tubuh kuda kepang juga bercorak Temanggung atau lukisan yang menggambarkan penokohan heroik Arya Penangsang.
Walaupun juga terlihat serupa dengan kuda lumping, jaran kepang Temanggung memiliki perbedaan spesifik.
Jika kuda lumping komponennya dipadu dengan kulit sapi, jaran kepang hanya menggunakan bambu dan rambut kuda.
Tak hanya itu, bahan yang digunakan Supriwanto juga menggunakan bambu khusus.
"Bambunya tidak boleh terlalu tua dan tidak boleh terlalu muda, masyarakat sini menyebutnya pring gendak," kata Supriwanto saat ditemui bakabar.com, Senin (18/9).
Baca Juga: Menyeruput Sensasi Kopi Walik Khas Temanggung
Pring gendak biasanya hanya bisa ditemukan di tempat tertentu yang jauh dari air dan tidak sembarangan. Supriwanto melakukan semua prosesnya tanpa menggunakan mesin.
"Tahapannya mulai dari memotong bambu sesuai ukuran , membuat buat pola, menganyam, memoles menggunakan lem kayu, mengecat, melukis, mengeringkan dan dipasangi rambut sapi atau kuda," bebernya.
Namun, ia tak mau memberi target untuk menyelesaikan tiap-tiap pesanan jaran kepang, khususnya yang motifnya request.
Sebab, untuk beberapa motif baru atau custom, Supriwanto perlu mencari inspirasi dan tidak bisa tergesa-gesa.
Pasang Surut Usaha Kandang Jaran
Supriwanto menuturkan, perjalanannya menjadi pengusaha sekaligus pelestari seni jaran kepang tak selamanya mulus. Berkali-kali ia gagal, bahkan merugi hingga jutaan rupiah, namun terus bangkit dan mencoba lagi.
“Dulu awalnya saya jual untuk mainan anak-anak seharga Rp10 ribu per biji,” jelasnya.
Selain menjualnya di pasar, Supriwanto juga menitipkan jaran kepangnya ke pedagang-pedagang mainan anak. Saat itu jugalah ia sering ditipu oleh para pedagang mainan yang menjadi rekanan bisnisnya.
"Semisal titipnya 15 laku 10, bilangnya cuma laku 5, ya akhirnya tidak dibayar sisanya," kenang Supriwanto.
Ia juga pernah mencoba untuk mengembangkan usahanya dengan meminjam uang ke bank dengan harapan usahanya bisa besar dan berhasil.
Namun naas, justru Supriwanto merugi dan pinjaman yang ia peroleh tak membuahkan hasil. Usaha dan kerja keras Supriwanto akhirnya terbayar setelah bertahun-tahun mencoba.
Baca Juga: Warung Jadoel Temanggung, Rumah Makan Tua Berusia 2 Abad
Kini, ia mampu menjual jaran kepangnya bahkan hingga ke luar negeri seperti Eropa dan Malaysia. Harga yang dibanderolpun kini berani bersaing, yakni Rp70.000 hingga jutaan rupiah, tergantung tingkat kerumitan dan jenis ekor rambut yang digunakan.
"Kesulitannya kalau sekarang mencari bahan produksi untuk ekor jaran kepang, karena saya pakai rambut kuda atau sapi asli, adanya hanya di NTB, Sumbawa atau Bali," ujarnya.
Supriwanto mengaku, ia bahkan harus berebut dengan pengrajin lain yang juga memerlukan banyak rambut untuk produksi karya seninya.
"Harapannya saat ini yang penting tetap bisa produksi dan kesenian jaran kepang di Temanggung ini tetap lestari," pungkasnya.