kesenian daerah

Gatholoco, Kesenian untuk Menghitung Pranata Mangsa yang Hampir Punah

Syair pranata mangsa dalam kesenian Gatholoco bukan hanya soal angka, tetapi juga cara manusia untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan.

Featured-Image
Kesenian Gatholoco Magelang (Apahabar.com/Arimbihp)

Apahabar.com, MAGELANG - Gatholoco adalah kesenian rakyat khas Magelang yang berkembang sejak era 1930-an. Di dalamnya ada syair pranata mangsa.

Penamaan Gatholoco merupakan akronim dari  kata gothuk-gathuk atau grothal-grathul lucu (dipasang menjadi lucu).

Seni 'cocoklogi' Jawa yang diyakini memiliki pemaknaan yang diwujudkan dalam seni di masyarakat.

Kesenian rakyat yang dimainkan sekelompok masyarakat di kawasan Magelang, khususnya di Desa Giritengah, Borobudur dan sekitarnya itu kini mulai jarang ditemukan.

Sebelum eksistensi Gatholoco surut, hampir seluruh masyarakat Giritengah mampu membawakan kesenian tersebut.

Keunikan dari kesenian Gatholoco adalah iringan syairnya yang menceritakan tentang pranata mangsa.

Pranata mangsa adalah panduan bagi masyarakat khususnya yang bekerja sebagai petani untuk bercocok tanam.

Pegiat budaya sekaligus pendiri komunitas Eksotika Desa, Panji Kusumah menuturkan, pranata mangsa masih relevan jika diterampkan pada masa sekarang.

Sebab, menghitung pranata mangsa bukan hanya perihal angka, tetapi juga cara manusia untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungannya.

"Pitutur-pitutur (nasehat) di dalam syair iringan Gatholoco masih dijadikan pegangan masyarakat, khususnya para petani hingga saat ini," kata Panji, Selasa (12/12).

Seorang pemain kesenian rakyat Gatholoco, Wahyono (70) menuturkan, Gatholoco di desanya memiliki 28 tembang atau lagu yang sarat dengan pitutur atau nasihat.

Tak hanya bercerita tentang pranata mangsa, syair pada iringan Gatholoco juga menjelaskan tentang siklus kehidupan manusia, mulai dari lahir hingga meninggal.

Selain syair pranata mangsa yang khas, keunikan dari Gatholoco adalah mengatur detail tentang waktu ideal untuk memiliki anak, hingga hal-hal sepele, seperti kapan memotong bambu atau bepergian.

Wahyono mencontohkan, masyarakat dan pemain Gatholoco sering menghitung periode mangsa kesanga, yaitu waktu yang tepat bagi seseorang untuk memotong bambu hijau.

”Mangsa kesanga biasanya jatuh pada tanggal muda dan harus pada pagi hari, jangan lewat pukul 12.00," kata Wahyono.

Sebab, menurut keyakinan masyarakat, jika memotong lewat pukul 12.00, maka bambu bisa rusak, lapuk dan keropos dimakan serangga.

Contoh lain yang dihitung menggunakan pranatamangsa adalah peringatan 100 hingga 1.000 hari meninggalnya seseorang.

"Ada petung (hitungan) Jawa yang ditaati dan dijadikan patokan masyarakat untuk menetapkan tanggal yang tepat dalam menggelar ritual-ritual desa, semua ada maknanya," pungkasnya.

Editor


Komentar
Banner
Banner