Amerika berusaha menyelesaikan masalah ini menggunakan berbagai metode, salah satunya dengan Pasal 301 Trade Act tahun 1974. Beleid ini mengizinkan Presiden Amerika melakukan penyelidikan dan menjatuhkan sanksi kepada negara yang diduga terlibat praktik perdagangan tidak adil dan mengancam kepentingan ekonomi Paman Sam.
Selain itu, atas permintaan eksekutif bisnis Amerika, Cina sampai ditempatkan ke dalam Daftar Pengawasan Prioritas pada 1989. Alih-alih panik, Negeri Tirai Bambu malah 'menyerang' balik dengan meneken Undang-Undang Hak Cipta pada 1990.
Namun, beleid tersebut boleh dibilang hanya simbolis, bukan substantif. Peraturan ini, salah satunya, mengatur karya asing yang hak ciptanya sudah dilindungi di negara lain, tak bakal diberi perlindungan di Cina. Amerika pun menganggap ini hanya akal-akal Cina belaka.
Dilindungi Pemerintah Daerah
Keberadaan barang palsu yang tumbuh subur di Cina juga tak terlepas dari andil pemerintah daerah. Usut punya usut, perlindungan produk KW oleh pemangku jabatan setempat dipicu dimulainya masa Reformasi dan Keterbukaan.
Sedari tahun 1978, beban pejabat pemerintah daerah di Cina makin berat. Mereka diangkat dan diberhentikan berdasarkan penilaian kompleks, utamanya berlandaskan evaluasi kinerja ihwal pembangunan ekonomi dan stabilitas sosial di daerahnya.
Ditambah lagi, sistem perpajakan Cina yang mengalami reformasi pada 1994, membuat pemerintah daerah - baik provinsi, kota, maupun kabupaten - bertanggung jawab atas kesehatan fiskal mereka sendiri.
Akibatnya, pengambil keputusan politik di tingkat lokal kurang termotivasi untuk menindak tegas industri barang palsu, terlebih kalau produsen barang aslinya tidak berlokasi di daerah mereka. Hal ini tentu berkontradiksi dengan keputusan pemerintah pusat, yang konon giat memberantas barang KW.
Pemerintah daerah, di sisi lain, justru 'terpaksa' tetap menjadi perisai bagi perusahaan pemalsu itu. Tak lain dan tak bukan, ini dilakukan semata-mata demi mengamankan posisi politik mereka di daerah kekuasaannya.