Oleh: Kadarisman
Jika suara rakyat sedang diperbincangkan, itu satu pertanda suksesi kekuasaan memasuki masa kadaluarsa. Guna menjamin tampuk berpemerintahan, undang-undang mensyaratkan pemilihan. Rakyatlah yang memiliki kekuasaan menentukan. Rakyat punya kedaulatan politik kepada siapa kekuasaan diberikan. Tidak heran rakyat kemudian jadi rebutan. Berbagai rayuan dikeluarkan, asalkan suaranya didapatkan.
Hebatnya rakyat, karena merekalah pemilik saham sebuah kekuasaan negara. Di negara demokratis rakyat memiliki peran penting turut dalam memperbaiki jalannya kekuasaan dalam berpemerintahan. Tapi sayang, rakyat dianggap penting hanya menjelang pemilihan semata. Entahlah paska pemilihan, saya tidak pernah tahu masihkah rakyat dianggap punya arti?
Balangan salah satu kabupaten di Kalsel yang turut dalam kancah pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020. Sedikitnya ada 7 kabupaten kota termasuk Pilgub yang yang akan terlibat dalam kontestasi tampuk eksekutif pemerintahan di Kalsel. Balangan menjadi menarik, karena ia merupakan kabupaten paling utara yang ambil bagian.
Pilkada Balangan sendiri hingga saat ini masih sangat dinamis. Manuver partai politik dan elit masih menyimpan teka teki sebelum KPU menutup masa pendaftaran bakal calon. Pun demikian ada sebagiannya yang sudah menegaskan kesiapannya secara lebih kongkrit.
Hingga kini, Balangan sudah mendapuk tiga pasangan calon. Dua dari partai politik dan satu dari pasangan independen. Secara teori, Balangan masih memungkinkan satu pasang calon lagi dari kursi partai yang belum melabuhkan koalisinya, seperti PDIP dan Gerindra.
Tetapi ini bukanlah keputusan yang mudah, mengingat jika pun terjadi maka koalisi PDIP dan Gerindra adalah koalisi minoritas. Kekuatan koalisi menjadi modal penting bagi elit di daerah dalam meminta restu elit pusat. Karna bagaimanapun, keputusan pengusungan pasangan calon di daerah mesti mengantongi restu DPP. Itu sebab hingga kini pasangan calon dari PDIP Balangan, H Syaifullah hanya hinggap di tataran wacana.
Berbeda dengan pasangan calon lainnya, seperti Ansharuddin – Noor Iswan (Anis) dan Abdul Hadi – Supiani (HAS) yang sudah melakukan tancap gas. Kedua pasangan calon ini sudah berlari kencang. Saking kencangnya kedua paslon ini yang tampak hanyalah bayang-bayangnya saja di garis start, hingga sulit memastikan siapa yang duluan sampai ke garis finish. Kegesitan mereka jauh meninggalkan pasangan lainnya dari jalur independen, Riza Jihadi – M Arsyad yang masih berjibaku menyiapkan syarat verifikasi KPU.
ANIS dan HAS sama-sama berangkat dari koalisi yang hampir seimbang besarnya. Sebut saja Golkar, PKS da PAN untuk ANIS dengan kekuatan 10 kursi. Sementara HAS yang disokong PPP, Nasdem dan Demokrat 9 kursi. Modal politik mereka hampir seimbang. Jadi wajar jika yang kemudian tampak di permukaan hanyalah dua Paslon ini.
Siapa Pemenangnya?
Pertanyaan menarik selanjutnya adalah siapa pemenangnya nanti untuk Pilkada Balangan 2020? Saya sering ditanya tentang ini. Siapa yang bakal menang?
Sayangnya saya bukan ahli nujum yang dapat meramal nasib siapapun. Hasil akhir setiap ikhtiar itu sejatinya mutlak milik Tuhan. Tak seorangpun diberi kepintaran untuk memastikan sebuah hasil akhir. Namun demikian, ada hukum Tuhan yang berlaku kendati tidak mutlak, bahwa ikhtiar terbaik tidak akan mendustakan hasilnya.
Karena itu kita dapat memprediksi dari sebuah apa yang diusahakan. Dalam kontestasi pilkada banyak variabel yang memengaruhi hasil akhir. Namun demikian kita dapat menyederhanakan ke dalam tiga indikator.
Pertama data ilmiah. Data ilmiah dapat dijadikan acuan memprediksi hasil akhir. Data ini dapat berupa hasil survei profesional dan berintegritas. Survei memiliki peran penting untuk mengawal elektabilitas. Biasanya, tidak hanya di situ, data survei juga mengetengahkan kekuatan dan kelemahan. Di sinilah peluang untuk menyalip musuh tidak mesti di tikungan. Di Balangan sendiri, terdapat pasangan calon yang memiliki data ilmiah itu dari lembaga survei tertentu.
Kedua adalah kekuatan partai koalisi. Bagaimana pun kekuatan partai koalisi merupakan mesin partai yang tidak bisa dianggap enting. Ia masih layak diandalkan dalam meraih suara pemilih. Semakin banyak teman bergotong royong, itu bukan saja akan lebih mudah, tetapi juga akan menjadi efektif.
Ketiga adalah adanya kejadian luar biasa yang terjadi atau dialami salah satu pasangan calon. Kita dapat saja berkaca kepada pikada DKI tahun 2017 lalu. Satu kejadian boomerang yang luar biasa dialami oleh Ahok dapat mengubah peta elektabilitas yang tak tergoyahkan. Ahok jagoan yang diunggulkan tapi akhirnya kalah.
Namun di luar dari tiga hal itu, Pilkada Balangan 2020 ini menjadi medan berat bagi semua kontestan. Semua calon memiliki kekuatan dan kelemahan. Mereka juga memiliki keunggulan, tetapi tidak ada yang mutlak. Badai politik dapat terjadi di enjury time dan dapat mengubah segalanya.
Data perohan pilkada serupa di Balangan tahun 2015 sejatinya mengungkapkan peta siapa memiliki peluang apa dengan cara bagaimana. Politik tidak saja soal rasionalitas kalkulasi di atas kertas, tapi juga kepiawaian memainkan resonansi emosional di tengah-tengah masyarakat. Dan itu sekarang sedang terjadi. Lalu siapakah pemenangnya?
Biarlah rakyat Balangan yang akan menjawabnya, mewakili Tuhan. Dan pastinya bukan dari saya
*
Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik Banua